Bid’ah Hasanah, Adakah?

Rabu, 06 Juli 2011

Kita, kaum Ahlus Sunnah, telah sering menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi 5 macam, yaitu bid’ah yang mubah, bid’ah yang mandub, bid’ah yang  wajib (ketiga macam ini biasa disebut bid’ah hasanah atau mahmudah), bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang haram (yang dua ini biasa disebut bid’ah sayyi’ah atau madzmumah). Namun kaum wahhabi terus saja menolaknya dengan perkataan-perkataan yang mereka sendiri tidak benar-benar memahaminya.

Pusat Fatwa Mesir : Kesesatan Aqidah Rububiyah – Uluhiyah Wahhaby

Sabtu, 18 Juni 2011


Berikut adalah sebahagian daripada terjemahan kami bagi Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Mesir berkaitan kesesatan Pembahagian Tauhid ala Taymiyyah dan Wahhabiyyah. Oleh kerana fatwanya agak panjang maka kami pilih yang sesuai dan bagi sesiapa yang boleh berbahasa Arab, silalah merujuk ke:
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=6623
TERJEMAHAN:
“Dan pembahagian Tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah adalah daripada pembahagian yang baru yang tidak datang daripada generasi Salafus Soleh. Dan orang pertama yang menciptanya – mengikut pendapat yang masyhur – ialah Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmati beliau),…
Melainkan beliau membawanya kepada had yang melampau sehingga menyangkakan bahawa Tauhid Rububiyyah semata-mata tidak cukup untuk beriman, dan bahawa sesungguhnya golongan Musyrikin itu bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan sesungguhnya ramai daripada golongan umat Islam daripada Mutakallimin (ulama’ tauhid yang menggabungkan naqal dan aqal) dan selain daripada mereka hanyalah bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan mengabaikan Tauhid Uluhiyyah.
Dan pendapat yang menyatakan bahawa sesungguhnya Tauhid Rububiyyah sahaja tidak mencukupi untuk menentukan keimanan adalah pendapat yang bid’ah dan bertentangan dengan ijma’ umat Islam sebelum Ibnu Taymiyyah…

Para sahabat yang terjatuh kepada syirik (menurut wahabi)


Menurut kaum salafy, tabarruk dengan bekas orang shalih itu adalah syirik. Padahal setiap hari kita bertabarruk dengan makanan dan obat-obatan. Misalnya kita tahu bahwa habbatus sauda mengandung keberkahan, lalu kita bertabarruk dengan memakannya dengan harapan Allah memberi kita kesembuhan. Lalu apa bedanya dengan kita mengetahui bahwa orang shalih itu adalah orang yang diberkahi Allah, lalu kita bertabarruk dengan meminum air yang pernah disentuhnya? Jika perbuatan semacam ini dianggap syirik oleh salafiyyun, maka telah banyak shahabat-shahabat utama dan juga salafush shalih setelah mereka yang telah melakukan syirik. Inilah di antara para shahabat dan salafush shalih tersebut:

Hajjaj ibn Hassan berkata: “Kami berada di rumah Anas dan dia membawa cangkir Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dari suatu kantong hitam. Dia (Anas) menyuruh agar cangkir itu diisi air dan kami minum air dari situ dan menuangkan sedikit ke atas kepala kami dan juga ke muka kami dan mengirimkan solawat kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.” [Hadits riwayat Ahmad, dan Ibn Katsir]
‘Asim berkata: “Aku melihat cangkir (Nabi) tersebut dan aku minum pula darinya.” [Hadits Riwayat Bukhari]
Ibn ‘Umar radiyAllahu ‘anhu sering memegang tempat duduk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam di mimbar dan menempelkan wajahnya untuk barokah. [al-Mughni 3:559; al-Shifa' 2:54, Ibn Sa'd, Tabaqat 1:13]

Imam Muslim meriwayatkan bahwa ‘Abd Allah, budak yang telah dibebaskan dari Asma’ binti Abu Bakr, paman (pihak ibu) dari anaknya si ‘Atha’ (ibn ‘Atha’), berkata: “Asma’ mengutus ku ke Abdullah ibn ‘Umar untuk mengatakan. “Menurut berita yang sampai kepadaku bahwa kau melarang tiga hal: jubah yang bergaris-garis, kain sadel yang terbuat dari sutra merah, dan berpuasa penuh di bulan Rajab.” Abdullah berkata kepadaku. “Tentang apa yang kau katakan tentang puasa di bulan Rajab, bagaimana dengan orang yang berpuasa kontinyu? Dan tentang kain bergaris, aku pernah mendengar ‘Umar bin Khattab berkata bahwa dia mendengar Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda “Dia yang mengenakan pakaian sutra tidak memiliki bagian baginya di hari akhir.” dan aku takut garis-garis termasuk dalam larangan itu. Adapun tentang kain saddle merah, ini adalah kain sadel Abdullah dan warnanya merah.” Aku (’Abd Allah) kembali ke Asma’ dan memberitahunya tentang jawaban Ibn Umar, lalu dia berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah, ” dan dia membawaku ke jubah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat, dan berkata “Ini adalah jubah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi Allah sallAllahu ‘alayhi wasallam biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.” [Imam Muslim meriwayatkannya dalam bab pertama di kitab pakaian, Bab al-Libaas]
Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim, karya beliau, juz 37 bab 2, “Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang shalih dan pakaian mereka.”
Dalam Bukhari dan Muslim: Para shahabat berebut mendapatkan sisa air wudhu’ Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam untuk digunakan membasuh muka mereka.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata: “riwayat-riwayat ini merupakan bukti/hujjah untuk mencari barokah dari bekas-bekas para wali”
Nabi SAW biasa menggunakan air liurnya untuk menyembuhkan penyakit, air liur beliau dicampur dengan sedikit tanah, dan diikuti kata-kata: “Bismillah, tanah dari bumi kami ditambah dengan air liur dari orang-orang yaqin di antara kami akan menyembuhkan penyakit kami dengan izin Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Asma’ binti Abu Bakr (semoga Allah meridhai keduanya) bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah bin Zubair di Makkah mengatakan, “Aku keluar dan aku sempurna hamil 9 bulan, lalu aku datang ke Madinah, aku turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah Shallalloohu ‘alayhi wasallam, maka beliau SAW menaruh Abdullah bin Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau SAW meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau SAW memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah bin Zubair. Dan itu adalah makanan yang pertama kali masuk ke mulutnya melalui Rasulullah SAW, lalu beliau SAW pun mendo’akannya dan mendoakan keberkahan kepadanya.” [HR. Bukhori]
Dari Abu Musa Al-Asy’ariy, “Anakku lahir, lalu aku membawa dan mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau SAW memberinya nama Ibrahim dan kemudian mentahniknya dengan kurma.” [HR. Muslim]
‘Usman ibn Abd Allah ibn Mawhab mengatakan: “Keluargaku mengirim diriku pergi ke Ummu Salama dengan secangkir air. Ummu Salama membawa keluar suatu botol perak yang berisi sehelai rambut Nabi SallAllahu ‘alayhi wasallam, dan biasanya jika seseorang memiliki penyakit mata atau kesehatannya terganggu, mereka mengirimkan secangkir air kepadanya (Ummu Salama) agar ia mengalirkan air itu lewat rambut tersebut (dan diminum). Kami biasa melihat ke botol perak itu dan berkata, ‘Aku melihat beberapa rambut kemerahan’”. [HR. Bukhari]
Hafiz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, Vol. 10, hlm, 353, mengatakan:
“Mereka biasa menyebut botol perak tempat menyimpan rambut Nabi itu sebagai jiljalan dan botol itu disimpan di rumah Ummu Salama.”

Anas berkata, “Ketika Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam mencukur kepalanya (setelah hajj), Abu Talha adalah orang pertama yang mengambil rambutnya” [HR. Bukhari]
Anas juga berkata: “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melempar batu di al-Jamra, kemudian ber-qurban, dan menyuruh seorang tukang cukur untuk mencukur rambut beliau di bagian kanan lebih dulu, lalu memberikan rambut tersebut pada orang-orang” [HR. Muslim]
Dia berkata: “Talha adalah orang yang membagi-bagikannya”. [HR. Muslim, Tirmidhi, dan Abu Dawud]
Dia juga berkata: “Ketika Rasulullah mencukur rambut kepalanya di Mina, beliau SAW memberikan rambut beliau dari sisi kanan kepalanya, dan bersabda: Anas! Bawa ini ke Ummu Sulaym (ibunya). Ketika para shahabat radiyallahu ‘anhum ajma’in melihat apa yang Rasulullah SAW berikan pada kami, mereka berebut untuk mengambil rambut beliau SAW yang berasal dari sisi kiri kepala beliau SAW, dan setiap orang mendapat bagiannya masing-masing. [HR. Ahmad]
Diriwayatkan di dalam Tadzkiratul Huffazh dan Siyar A’lamun Nubala, ketika Imam Ahmad bin Hanbal wafat maka jenazahnya dishalatkan lebih dari 800.000 Muslimin-Muslimat dan ia pun pernah berwasiat pada putranya, “Jika aku wafat, aku menyimpan 3 helai rambut Rasulullah SAW. Letakkan 1 helai rambut dibibirku, yang 2 helai taruh di kedua mataku dan makamkan aku dengan itu.” Demikian cintanya Imam Ahmad bin Hanbal sehingga ia tidak ingin dikebumikan kecuali dengan terus mencium rambutnya Rasulullah SAW. Demikianlah Mahabbah, demikianlah cinta sang Imam kepada Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakr berkata: “Aku melihat Khalid ibn Walid meminta gombak (rambut bagian depan) Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan dia menerimanya. Dia biasa menaruhnya di atas matanya, dan kemudian menciumnya.” Diketahui bahwa kemudian dia menaruhnya di qalansuwa (tutup kepala yang dikelilingi turban) miliknya, dan selalu memenangkan perang. (riwayat Al-Waqidi di Maghazi dan Ibn Hajar di Isaba).
Ibn Abi Zayd al-Qayrawani meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata:
“Khalid ibn al-Walid memiliki sebuah qalansiyya yang berisi beberapa helai rambut Rasulullah SAW, dan itulah yang dipakainya pada perang Yarmuk.

Yahudi dan antek-anteknya tidak ingin ummat ini bangkit mencintai Nabi Muhamamd SAW. Yahudi dan antek-anteknya sangat takut jika ummat Islam ini bertabarruk dengan Nabi dan orang-orang shalih serta bertawassul dengan Nabi dan orang-orang shalih. Jika ummat ini sampai melakukannya dan meminta kemenangan, maka ummat ini akan menang. Maka jangan terkecoh dengan syubhat-syubhat yang disebarkan Yahudi melalui antek-anteknya.

Para shalafush shalih yang menyembah kubur

Sungguh keji perkataan salafiyyun terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di antara julukan mereka terhadap kita adalah Quburiyyun, penyembah qubur, dsb. Kata-kata semacam ini sama dengan takfir. Karena penyembah kubur itu sudah jelas batal keislamannya. Lalu mereka menyebut kita sebagai penyembah kubur hanya karena kita berziaroh ke makam para wali dan orang-orang shalih.
Tidak tahukah mereka, bahwa para shahabat pun telah melakukan hal yang sama? Apakah mereka mau menghujat para salafush shalih itu sebagai penyembah kubur juga? Sungguh ini adalah perbuatan yang melampaui batas, ekstrim, ghuluw.

Keberkahan (Tabarruk)


Hamdan li Robbin khoshshonaa bi Muhammadin wa anqodzanaa min zhulumatil jaHli wad dayaajiri, alhamdu lillaaHil ladzii Hadaanaa bi ‘abdiHil mukhtaari man da’aanaa ilayHi bil idzni wa qod naadaanaa, labbayka yaa man dallanaa wa hadaanaa shallallooHu wa sallam wa baarik ‘alaiih wa ‘alaa aaliH. Alhamdu lillaaHil ladzii jama’anaa fi Haadzal majma’il kariim wa fii Haadzal jam’il ‘azhiim.
Limpahan puji ke hadirat Allah, Maha Penguasa setiap ruh dan jiwa, Maha menerangi jiwa dan sanubari dengan cahaya khusyu’, Maha menenangkan jiwa dengan lezatnya doa, Maha memberi kemuliaan dalam sanubari agar terang benderang dan menjauh dari segala perbuatan hina dan selalu ingin dekat dengan Yang Maha Bercahaya. Allah Sang Penerang tunggal seluruh langit dan bumi, menerangi sanubari hamba-hamba-Nya, menuntun mereka dengan tuntunan-tuntunan keluhuran dengan perantara hamba-hamba-Nya yang dipimpin oleh kekasih-Nya, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengan mencintai beliau maka sampailah seseorang kepada kesempurnaan iman, seraya bersabda: “Laa (belum) yu-minu (beriman) ahadukum (seorang kalian) hattaa (hingga) akuuna (aku) ahabba (lebih dicintai) ilayhi (olehnya) min (daripada) waalidiHi (orangtuanya) wa (dan) waladiHi (keturunannya) wan (dan) naasi (manusia) ajma’iin (seluruhnya).”
“Belum sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku lebih dicintainya dari ayah dan ibunya, dari anak-anaknya dan dari seluruh manusia“.
Berkata Hujjatul Islam wa barakatul anam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalany di dalam Fathul Bari bi syarh Shahih Al Bukhari, menukil perkataan Hujjatul Islam Al Imam Qadhi Iyadh (ulama terkemuka dari madzh-hab Maliki) yang berkata: “Belum sempurna iman seseorang sebelum benar-benar memahami tingginya derajat sang nabi melebihi seluruh makhluk Allah.” Makhluk Allah yang paling mulia adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu makhluk Allah yang menjadi rahasia kelembutan Ilahi yang abadi bagi hamba-hamba yang terpilih untuk mencapai keluhuran Allah subhanahu wata’ala.

Maka terangkatlah derajat para sahabat rasul radiyallahu ‘anhum wa ardhahum, sebagaimana yang telah saya sampaikan di malam Selasa yang lalu bahwa ketika gunung Uhud berguncang, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenanglah wahai Uhud sesungguhnya di atasmu ada nabi, orang shiddiq (orang yang punya integritas tinggi), dan dua orang syahid.“
Mereka adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam, sayyidina Abi Bakr As Shiddiq, sayyidina Umar bin Khattab dan sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu ‘anhum. Namun nabi tidak menyebut namanya, tidak menyebut ada Abu Bakr, Umar dan Utsman. Tetapi beliau menyebut dengan “Nabiy, Shiddiq, Syahiidan“. Kalau Shiddiq berarti bukan Abu Bakr As Shiddiq saja, siapapun para shiddiqin yang berkesinambungan dari masa ke masa, maka dengan keberadaan seorang As Shiddiq di atas sebuah gunung maka tidak pantas gunung itu berguncang dengan instruksi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka yang seharusnya ada musibah yang terjadi akan menjadi jauh dengan keberadaan para shiddiqin yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapai keridhaan Allah, mereka adalah para wali Allah, Ulama, dan Shalihin.
Rasul selalu menghindari tanah atau tempat-tempat yang dimurkai Allah, wilayah-wilayah bekas injakan orang-orang yang dimurkai Allah. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa ketika Rasul shallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan menuju Tabuk, rasul melewati tempat atau kampung bekas kaum Tsamud ribuan tahun yang lalu, maka Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan ambil sesuatu dari tempat itu, dan jangan meminum air dari sumur-sumurnya karena Allah pernah menurunkan bala’ di tempat ini kepada kaum Tsamud.“ Demikian tempat-tempat yang pernah diturunkan musibah oleh Allah di masa-masa lalu (tempat-tempat yang pernah dimurkai Allah swt), Rasulullah tidak mau berhenti untuk mengambil air atau makanan dari tempat itu, lewat saja dengan segera dan tidak mau berhenti.
Adapun tempat-tempat suci dan mulia, maka para nabi dan rasul ingin selalu dekat dengannya. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa nabi Musa ketika telah mendekati ajal, nabi Musa selalu ingin banyak beribadah maka diutuslah malaikat Izrail untuk mengujinya, ketika malikat Izrail datang ia ditampar oleh nabi Musa yang ketika itu ia berwujud manusia hingga keluar matanya dari tempatnya, maka kembalilah malaikat Izrail kepada Allah dan berkata: “Wahai Allah, Engkau mengutus aku kepada orang yang tidak mau mati, orang yang bisa melawan kepadaku.“ Maka Allah subhanahu wata’ala menjawab : “Kembali kau kepada Musa. Katakan kepadanya jika dia ingin terus hidup maka tempelkan tangannya di kulit seekor kerbau dan berapa jumlah rambut ynag tersentuh telapak tangannya maka usianya akan bertambah sebanyak rambut kerbau yang tersentuh tangannya itu.“
Maka datanglah malaikat Izrail as kepada nabi Musa as dengan wujud manusia dalam keadaan matanya telah disembuhkan oleh Allah dan berkata kepada nabi Musa: “Allah berkata jika kau ingin tetap hidup maka tempelkan tanganmu di seekor kulit kerbau dan berapa banyak rambut kerbau yang tersentuh maka sebanyak itulah akan bertambah umurmu.“ Nabi Musa as bertanya : “Lalu setelah itu apa?“ Malaikat Izrail as menjawab : “Setelah itu kau wafat.“ Mmaka nabi Musa berkata: “Jika memang akhirnya wafat juga, maka sekarang saja.“ Maka nabi Musa as memohon kepada Allah agar jenazahnya didekatkan ke wilayah yang dekat dengan tanah suci.“ (Shahih Bukhari), yaitu Palestina. Demikian permohonan nabi Musa yang meminta agar diwafatkan di tanah yang suci. Jika tadi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam di tanah yang dimurkai Allah beliau hanya sekedar melintas, tetapi di wilayah para shalihin justru di sanalah banyak diturunkan rahmat dan keberkahan.
Demikian pula sayyidina Umar Ibn Khattab radiyallahu ‘anhu , diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari yang berdoa: “Wahai Allah berilah kepadaku mati syahid di kota utusan-Mu.“ Sayyidina Umar meminta mati syahid, tetapi di kotanya Rasul saw, ingin dimakamkan di sana, di Madinah Al Munawwarah, jangan di tempat yang lain. Bahkan beliau meminta idzin kepada Sayyidah Aisyah agar dapat dimakamkan di dekat makam Nabi. Demikian sayyidina Umar dan para sahabat yang lainnya.
Dari sini, pahamlah kita bahwa manusia-manusia yang jahat dapat menyebabkan keburukan kepada alam dan apa-apa yang disentuhnya. Bahkan Nabi tak mau meminum air dari sumur-sumur kaum Tsamud. Padahal kejadiannya sudah ribuan tahun. Tetapi keburukannya (hado/aura/energi negatifnya) masih menempel pada tanah dan airnya. Namun sebaliknya, tanah Palestina yang sering diinjak oleh para Nabi dan Rasul, tanah Makkah dan Madinah yang sering diinjak oleh Rasul SAW dan para shahabat beliau, menjadi tanah yang berkah. Bahkan banyak orang yang ingin shalat di atas pijakan Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Ada juga shahabat yang meminta agar Rasul SAW shalat di rumahnya, yang mana tempat tersebut kemudian digunakan untuk tempat ibadahnya. Mereka banyak mengambil keberkahan dari apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi.
Ada di antara mereka yang menyimpan pakaian Nabi. Jika ada yang sakit, maka mereka mencelupkan pakaian tersebut ke air, lalu mereka minum airnya, dan mereka sembuh. Padahal saat itu Nabi telah wafat. Keberkahan itu dari Allah, bukan dari manusia. Keberkahan tidak ada hubungannya dengan masih hidup atau telah wafatnya seseorang yag diambil keberkahannya. Kaena kita ini menyembah Allah Yang Mahahidup, bukan menyembah manusia. Kita mengambil keberkahan dari Allah Yang Mahahidup melalui manusia yang diberkahi dan apa-apa yang pernah disentuh oleh manusia yang diberkahi Allah. Kita ini bukan menyembah manusia tersebut.
Namun orang-orang yang dangkal pemikirannya berkata bahwa keberkahan hanya boleh diambil kepada manusia yang masih hidup. Sungguh, pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang rusak yang berasal dari pemikiran penyembah manusia. Mereka berfikir bahwa manfaat dan keberkahan itu berasal dari manusia. Padahal keberkahan dan manfaat itu berasal dari Allah. Sehingga, tidak ada bedanya manusia yang menjadi perantara itu masih hidup atau telah wafat, hadir atau tidak hadir. Nabi Yusuf telah mengirimkan jubahnya kepada ayahnya. Walau Nabi Ya’qub itu seorang Nabi yang juga diberkahi, tetapi kesembuhan mata Nabi Ya’qub Allah letakkan pada Nabi Yusuf yang kemudian menular kepada jubahnya.
Apakah Anda berfikir bahwa jika Anda tidak makan nasi dan lainnya, maka Anda akan mati? Ketahuilah bahwa nasi dan makanan serta minuman hanyalah perantara untuk menyampaikan keberkahan dari Allah, berupa kekuatan dan lainnya, kepada kita. nasi bukanlah sumber kekuatan dan keberkahan. Ada saatnya nanti, manusia memakan makanan malaikat. malaikat tidak makan nasi, kurma, atau yang lainnya. Makanan mereka adalah tasbih, tahmid, tahlil, dan ibadah-ibadah lainnya kepada Allah. Allah sumber keberkahan dan pemberi manfaat serta kehidupan.
Nabi mengajarkan kita agar tidak menyia-nyiakan makanan. Nabi mengingatkan bahwa bisa jadi keberkahan itu justeru terdapat pada butir nasi terakhir. Keberkahan dari Allah berupa kesehatan, kekuatan dan manfaat lainnya biasa kita peroleh dengan cara mengkonsumsi apa yang kita yaqini diberkahi Allah, seperti nasi, kurma, dan lain-lain makanan dan minuman.
Lalu mengapa para shahabat menginginkan air wudhu Nabi, rambut Nabi, ludah Nabi, darah bekam Nabi, darah luka Nabi, dan apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi? Mereka menginginkan keberkahan yang terdapat pada itu semua, seperti kita menginginkan keberkahan yang terdapat pada nasi.
Suatu saat, Imam Syafi’i bertamu kepada gurunya, Imam Malik. Ketika disuguhni makanan, beliau pun makan dengan lahapnya sehingga puteri Imam Malik memandangnya seperti orang yang kurang adab. Maka Imam Syafi’i menjelaskan bahwa beliau meyaqini bahwa makanan yang disuguhkan di rumah gurunya tentu didapatkan dari uang gurunya yang berkah, diolah oleh orang-orang yang diberkahi, dan berada di rumah yang diberkahi karena di dalamnya terdapat orang-orang yang diberkahi. Maka pastilah makanan itu penuh dengan keberkahan. Imam Syafi’i tak mau menyia-nyiakan keberkahan semacam itu.
Jika kita telah memahami tentang keberkahan dan sifat-sifatnya serta bagaimana orang-orang salaf menyikapi keberkahan tersebut, insya Allah kita akan memahami pula tentang bolehnya bertabarruk. Jangan sampai kita menyelisihi kebiasaan salafuna. Kaum salaf telah bertabarruk, maka janganlah kita mematikan kebiasaan mereka yang mulya ini. Janganlah kita mengikuti kemauan Yahudi yang menginginkan kekalahan kaum Muslimin karena meninggalkan tabarruk dan tawassul.
Dulu, sebelum nabi diutus, orang-orang Yahudi telah bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, nabi yang dijanjikan, nabi yang ditunggu-tunggu. Setiap berperang, mereka bertawassul dengan Nabi SAW, dan mereka memperoleh kemenangan. Namun setelah Nabi yang ditunggu-tunggu itu muncul dari bangsa Arab, mereka pun mengingkarinya. walau pun mereka tahu bahwa itu memang benar-benar nabi yang ditunggu-tunggu. Pengingkaran mereka berasal dari kesombongan mereka yang menganggap bahwa bangsa Israil adalah bangsa tuan, dan bangsa Ismail adalah bangsa budak. Namun ada hal yang mengkhawatirkan mereka. Jika ummat Islam ini bertawassul dengan sang Nabi, lalu memohon kemenangan atas Yahudi, maka habislah kaum Yahudi. Maka mereka pun menjalankan segala rencana busuk untuk menjauhkan ummat Islam ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Padahal kebiasaan-kebiasaan yang baik itu jelas-jelas membawa kaum salaf kepada kemenangan. Yahudi menggunakan kedok kaum salaf untuk menjauhkan ummat ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Kebiasaan-kebiasaan yang baik pun digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti ijtihad semaunya, mengharamkan tabarruk dan tawassul, mengharamkan perayaan maulid Nabi, mengkafirkan sesama Muslim, dsb.
Mari kita hidupkan sunnah-sunnah Nabi, sunnah-sunnah salafush shalih, sunnah-sunnah yang baik. Semoga allah melindungi kita dari sunnah-sunnah kaum sebelum Nabi SAW, dari sunnah-sunnah yang buruk. Semoga Allah melindungi kita dari jalan-jalan orang-orang yang sesat dan dari jalan-jalan orang-orang yang dimurkai-Nya. Aamiin.

Sesat Tidaknya Ajaran Sufi

Tarekat adalah sebutan untuk orang-orang sufi yang menjadikan berbagai cara/jalan/metode bagi diri mereka, seperti : Tarekat Jailaniah, Rifa’iyah, Syadziiah dan lainnya.
Pada umumnya mereka adalah tarekat-tarekat bid’ah yang tidak memiliki keterkaitan dengan syara’ akan tetapi merupakan buah karya dari para pemiliknya sendiri. Mereka menentukan berbagai doa—baik yang masyru’ maupun tidak masyru’—bagi tarekatnya dengan jumlah-jumlah tertentu, dengan gerakan-gerakan tertentu di waktu-waktu tertentu dan lainnya dengan anggapan bahwa hal itu dapat membersihkan diri mereka, menyucikan hati mereka dan mengantarkan mereka ke kedudukan wali yang paling tinggi.

Tasawuf


Tasawwuf adalah sesuatu yang dicurigai. Tasawwuf dianggap termasuk sifat buruk dan tercela yang bisa menggugurkan kesaksian dan menghilangkan keadilan, sehingga dikatakan, “Si fulan tidak tsiqah dan tidak dapat diterima riwayatnya. Karena dia seorang sufi (ahli tasawwuf).”

Anehnya, kita melihat sebagian orang yang mencela tasawwuf, yang memerangi pelakunya, dan menganggap pelakunya sebagai musuh, justeru mereka melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh ahli tasawwuf, bahkan mereka tidak malu ketika mengutip ucapan imam-imam suffi dalam ceramah-ceramahnya, khuthbah-khuthbah Jum’at dan seminar-seminar. Mereka mengatakan, “Al Fudhail bin Iyadh berkata,” “Al Junayd berkata,” “Hasan Al-Bashri berkata,” “Sahl At-Tastari berkata,” “Al-Muhasibi berakta,” dan, “Bisyr Al-Hafi berkata.”
Mereka semua adalah imam dan tokoh sufi. KItab-kitab tasawwuf dipenuhi dengan perkataan, riwayat, cerita dan kebaikan mereka. Maka saya tidak tahu, aakah itu tindakan bodoh, atau pura-pura bodoh? Kebutaan atau pura-pura buta?
Saya ingin mengutip perkataan ulama yang merupakan tokoh sufi. Saya kutip ucapan mereka mengenai syari’at Islam agar kita mengetahui sikap mereka yang sebenarnya.
Imam Al-Junayd berkata, “Semua manusia menemui jalan buntu, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan mengikuti jalan-jalan kebaikannya, maka wajib bagi para pengikutnya untuk mengikuti jejaknya.”
Dzun Nuun al-Mishri berkata, “Parameter pembicaraan ada empat, yaitu cinta kepada Allah, membenci yang sedikit, mengikuti Al-Qur`an dan takut bergeser (kualitas imannya). Sebagian tanda-tanda orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla adalah mengikuti kekasih Allah dalam akhlaqnya, pekerjaannya, perintah-perintahnya dan sunnahnya.”
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah nama dari ketiga makna ini, yakni orang yang cahaya pengetahuannya tidak mematikan cahaya waro’nya, tidak berbicara dengan kedalaman ilmu yang bertentangan dengan lahiriahnya Kitabullah dan Sunnah dan tidak terdorong oleh karomah-karomah untuk merusak batasan-batasan hal yang diharamkan Allah.”
Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-hafi berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW dalam tidur, lalu Nabi berkata kepadaku, ‘Wahai Bisyr! Apakah kamu tahu mengapa Allah mengangkat (derajat)mu di antara teman-temanmu?’ Aku menjawab, ‘Tidak wahai Rasulullah!’ Rasul bersabda, ‘Sebab engkau mengikuti sunnahku, engkau berkhidmah (melayani) orang-orang shalih, engkau menasihati saudara-saudaramu, engkau mencintai shahabat-shahabatku dan keluargaku. Inilah yang mengantarkan kamu ke tempat orang-orang yang baik.’”
Abu Yazid bin Thayfur bin Isa al-Busthomi berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang mendapat karomah sehingga dia bisa terbang di udara, maka janganlah kalian tertipu, sehingga kalian melihat bagaimana dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memelihara hukum-hukum Allah dan melaksanakan syari’at-Nya”
Abul Qasim al-junayd bin Muhammad berkata, “Barangsiapa yang tidak hafal al-Qur`an dan tidak menulis as-Sunnah, maka dia tidak bisa dijadikan panutan dalam urusan ini (agama), karena ilmu kita terkait erat dengan Al-Qur`an dan as-Sunnah.” Beliau juga berkata, “Madzhab kita ini terkait erat dengan Ushul (pokok-pokok) Al-Qur`an dan As-Sunnah dan ilmu kita terbangun dengan hadits Rasulullah SAW.”
Abul Hasan Ahmad bin Muhammad an-Nawawi berkata, “barangsiapa yang engkau lihat seraya mengklaim Allah (memberi) suatu tingkah laku yang mengeluarkannya dari batasan syara’, maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah bin Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memelihara penglihatannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, menahan hawa nafsunya dari syahwat, menyinari bathinnya dengan muroqobah terus-menerus dengan mengikuti Sunnah dan membiasakan dirinya dengan makanan yang halal, maka firosahnya akan benar.”
Maka bagaimana mungkin tasawwuf ini dapat dikatakan sesat? Sedangkan ia adalah penggabungan antara aqidah dan syari’at, dan ia membaguskan akhlaq. Janganlah seseorang berkata-kata tentang apa yang tidak diketahuinya. Janganlah seseorang itu hanya membeo terhadap ustadz-ustadznya. Seekor beo hanya mengatakan apa yang didengar tanpa benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. Mengapa sebagian manusia enggan taqlid buta kepada para mujtahid, tetapi sangat gemar untuk taqlid kepada muqollid?