Pusat Fatwa Mesir : Kesesatan Aqidah Rububiyah – Uluhiyah Wahhaby

Sabtu, 18 Juni 2011


Berikut adalah sebahagian daripada terjemahan kami bagi Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Mesir berkaitan kesesatan Pembahagian Tauhid ala Taymiyyah dan Wahhabiyyah. Oleh kerana fatwanya agak panjang maka kami pilih yang sesuai dan bagi sesiapa yang boleh berbahasa Arab, silalah merujuk ke:
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=6623
TERJEMAHAN:
“Dan pembahagian Tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah adalah daripada pembahagian yang baru yang tidak datang daripada generasi Salafus Soleh. Dan orang pertama yang menciptanya – mengikut pendapat yang masyhur – ialah Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmati beliau),…
Melainkan beliau membawanya kepada had yang melampau sehingga menyangkakan bahawa Tauhid Rububiyyah semata-mata tidak cukup untuk beriman, dan bahawa sesungguhnya golongan Musyrikin itu bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan sesungguhnya ramai daripada golongan umat Islam daripada Mutakallimin (ulama’ tauhid yang menggabungkan naqal dan aqal) dan selain daripada mereka hanyalah bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan mengabaikan Tauhid Uluhiyyah.
Dan pendapat yang menyatakan bahawa sesungguhnya Tauhid Rububiyyah sahaja tidak mencukupi untuk menentukan keimanan adalah pendapat yang bid’ah dan bertentangan dengan ijma’ umat Islam sebelum Ibnu Taymiyyah…

Para sahabat yang terjatuh kepada syirik (menurut wahabi)


Menurut kaum salafy, tabarruk dengan bekas orang shalih itu adalah syirik. Padahal setiap hari kita bertabarruk dengan makanan dan obat-obatan. Misalnya kita tahu bahwa habbatus sauda mengandung keberkahan, lalu kita bertabarruk dengan memakannya dengan harapan Allah memberi kita kesembuhan. Lalu apa bedanya dengan kita mengetahui bahwa orang shalih itu adalah orang yang diberkahi Allah, lalu kita bertabarruk dengan meminum air yang pernah disentuhnya? Jika perbuatan semacam ini dianggap syirik oleh salafiyyun, maka telah banyak shahabat-shahabat utama dan juga salafush shalih setelah mereka yang telah melakukan syirik. Inilah di antara para shahabat dan salafush shalih tersebut:

Hajjaj ibn Hassan berkata: “Kami berada di rumah Anas dan dia membawa cangkir Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dari suatu kantong hitam. Dia (Anas) menyuruh agar cangkir itu diisi air dan kami minum air dari situ dan menuangkan sedikit ke atas kepala kami dan juga ke muka kami dan mengirimkan solawat kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.” [Hadits riwayat Ahmad, dan Ibn Katsir]
‘Asim berkata: “Aku melihat cangkir (Nabi) tersebut dan aku minum pula darinya.” [Hadits Riwayat Bukhari]
Ibn ‘Umar radiyAllahu ‘anhu sering memegang tempat duduk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam di mimbar dan menempelkan wajahnya untuk barokah. [al-Mughni 3:559; al-Shifa' 2:54, Ibn Sa'd, Tabaqat 1:13]

Imam Muslim meriwayatkan bahwa ‘Abd Allah, budak yang telah dibebaskan dari Asma’ binti Abu Bakr, paman (pihak ibu) dari anaknya si ‘Atha’ (ibn ‘Atha’), berkata: “Asma’ mengutus ku ke Abdullah ibn ‘Umar untuk mengatakan. “Menurut berita yang sampai kepadaku bahwa kau melarang tiga hal: jubah yang bergaris-garis, kain sadel yang terbuat dari sutra merah, dan berpuasa penuh di bulan Rajab.” Abdullah berkata kepadaku. “Tentang apa yang kau katakan tentang puasa di bulan Rajab, bagaimana dengan orang yang berpuasa kontinyu? Dan tentang kain bergaris, aku pernah mendengar ‘Umar bin Khattab berkata bahwa dia mendengar Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda “Dia yang mengenakan pakaian sutra tidak memiliki bagian baginya di hari akhir.” dan aku takut garis-garis termasuk dalam larangan itu. Adapun tentang kain saddle merah, ini adalah kain sadel Abdullah dan warnanya merah.” Aku (’Abd Allah) kembali ke Asma’ dan memberitahunya tentang jawaban Ibn Umar, lalu dia berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah, ” dan dia membawaku ke jubah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat, dan berkata “Ini adalah jubah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi Allah sallAllahu ‘alayhi wasallam biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.” [Imam Muslim meriwayatkannya dalam bab pertama di kitab pakaian, Bab al-Libaas]
Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim, karya beliau, juz 37 bab 2, “Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang shalih dan pakaian mereka.”
Dalam Bukhari dan Muslim: Para shahabat berebut mendapatkan sisa air wudhu’ Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam untuk digunakan membasuh muka mereka.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata: “riwayat-riwayat ini merupakan bukti/hujjah untuk mencari barokah dari bekas-bekas para wali”
Nabi SAW biasa menggunakan air liurnya untuk menyembuhkan penyakit, air liur beliau dicampur dengan sedikit tanah, dan diikuti kata-kata: “Bismillah, tanah dari bumi kami ditambah dengan air liur dari orang-orang yaqin di antara kami akan menyembuhkan penyakit kami dengan izin Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Asma’ binti Abu Bakr (semoga Allah meridhai keduanya) bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah bin Zubair di Makkah mengatakan, “Aku keluar dan aku sempurna hamil 9 bulan, lalu aku datang ke Madinah, aku turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah Shallalloohu ‘alayhi wasallam, maka beliau SAW menaruh Abdullah bin Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau SAW meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau SAW memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah bin Zubair. Dan itu adalah makanan yang pertama kali masuk ke mulutnya melalui Rasulullah SAW, lalu beliau SAW pun mendo’akannya dan mendoakan keberkahan kepadanya.” [HR. Bukhori]
Dari Abu Musa Al-Asy’ariy, “Anakku lahir, lalu aku membawa dan mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau SAW memberinya nama Ibrahim dan kemudian mentahniknya dengan kurma.” [HR. Muslim]
‘Usman ibn Abd Allah ibn Mawhab mengatakan: “Keluargaku mengirim diriku pergi ke Ummu Salama dengan secangkir air. Ummu Salama membawa keluar suatu botol perak yang berisi sehelai rambut Nabi SallAllahu ‘alayhi wasallam, dan biasanya jika seseorang memiliki penyakit mata atau kesehatannya terganggu, mereka mengirimkan secangkir air kepadanya (Ummu Salama) agar ia mengalirkan air itu lewat rambut tersebut (dan diminum). Kami biasa melihat ke botol perak itu dan berkata, ‘Aku melihat beberapa rambut kemerahan’”. [HR. Bukhari]
Hafiz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, Vol. 10, hlm, 353, mengatakan:
“Mereka biasa menyebut botol perak tempat menyimpan rambut Nabi itu sebagai jiljalan dan botol itu disimpan di rumah Ummu Salama.”

Anas berkata, “Ketika Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam mencukur kepalanya (setelah hajj), Abu Talha adalah orang pertama yang mengambil rambutnya” [HR. Bukhari]
Anas juga berkata: “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melempar batu di al-Jamra, kemudian ber-qurban, dan menyuruh seorang tukang cukur untuk mencukur rambut beliau di bagian kanan lebih dulu, lalu memberikan rambut tersebut pada orang-orang” [HR. Muslim]
Dia berkata: “Talha adalah orang yang membagi-bagikannya”. [HR. Muslim, Tirmidhi, dan Abu Dawud]
Dia juga berkata: “Ketika Rasulullah mencukur rambut kepalanya di Mina, beliau SAW memberikan rambut beliau dari sisi kanan kepalanya, dan bersabda: Anas! Bawa ini ke Ummu Sulaym (ibunya). Ketika para shahabat radiyallahu ‘anhum ajma’in melihat apa yang Rasulullah SAW berikan pada kami, mereka berebut untuk mengambil rambut beliau SAW yang berasal dari sisi kiri kepala beliau SAW, dan setiap orang mendapat bagiannya masing-masing. [HR. Ahmad]
Diriwayatkan di dalam Tadzkiratul Huffazh dan Siyar A’lamun Nubala, ketika Imam Ahmad bin Hanbal wafat maka jenazahnya dishalatkan lebih dari 800.000 Muslimin-Muslimat dan ia pun pernah berwasiat pada putranya, “Jika aku wafat, aku menyimpan 3 helai rambut Rasulullah SAW. Letakkan 1 helai rambut dibibirku, yang 2 helai taruh di kedua mataku dan makamkan aku dengan itu.” Demikian cintanya Imam Ahmad bin Hanbal sehingga ia tidak ingin dikebumikan kecuali dengan terus mencium rambutnya Rasulullah SAW. Demikianlah Mahabbah, demikianlah cinta sang Imam kepada Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakr berkata: “Aku melihat Khalid ibn Walid meminta gombak (rambut bagian depan) Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan dia menerimanya. Dia biasa menaruhnya di atas matanya, dan kemudian menciumnya.” Diketahui bahwa kemudian dia menaruhnya di qalansuwa (tutup kepala yang dikelilingi turban) miliknya, dan selalu memenangkan perang. (riwayat Al-Waqidi di Maghazi dan Ibn Hajar di Isaba).
Ibn Abi Zayd al-Qayrawani meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata:
“Khalid ibn al-Walid memiliki sebuah qalansiyya yang berisi beberapa helai rambut Rasulullah SAW, dan itulah yang dipakainya pada perang Yarmuk.

Yahudi dan antek-anteknya tidak ingin ummat ini bangkit mencintai Nabi Muhamamd SAW. Yahudi dan antek-anteknya sangat takut jika ummat Islam ini bertabarruk dengan Nabi dan orang-orang shalih serta bertawassul dengan Nabi dan orang-orang shalih. Jika ummat ini sampai melakukannya dan meminta kemenangan, maka ummat ini akan menang. Maka jangan terkecoh dengan syubhat-syubhat yang disebarkan Yahudi melalui antek-anteknya.

Para shalafush shalih yang menyembah kubur

Sungguh keji perkataan salafiyyun terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di antara julukan mereka terhadap kita adalah Quburiyyun, penyembah qubur, dsb. Kata-kata semacam ini sama dengan takfir. Karena penyembah kubur itu sudah jelas batal keislamannya. Lalu mereka menyebut kita sebagai penyembah kubur hanya karena kita berziaroh ke makam para wali dan orang-orang shalih.
Tidak tahukah mereka, bahwa para shahabat pun telah melakukan hal yang sama? Apakah mereka mau menghujat para salafush shalih itu sebagai penyembah kubur juga? Sungguh ini adalah perbuatan yang melampaui batas, ekstrim, ghuluw.

Keberkahan (Tabarruk)


Hamdan li Robbin khoshshonaa bi Muhammadin wa anqodzanaa min zhulumatil jaHli wad dayaajiri, alhamdu lillaaHil ladzii Hadaanaa bi ‘abdiHil mukhtaari man da’aanaa ilayHi bil idzni wa qod naadaanaa, labbayka yaa man dallanaa wa hadaanaa shallallooHu wa sallam wa baarik ‘alaiih wa ‘alaa aaliH. Alhamdu lillaaHil ladzii jama’anaa fi Haadzal majma’il kariim wa fii Haadzal jam’il ‘azhiim.
Limpahan puji ke hadirat Allah, Maha Penguasa setiap ruh dan jiwa, Maha menerangi jiwa dan sanubari dengan cahaya khusyu’, Maha menenangkan jiwa dengan lezatnya doa, Maha memberi kemuliaan dalam sanubari agar terang benderang dan menjauh dari segala perbuatan hina dan selalu ingin dekat dengan Yang Maha Bercahaya. Allah Sang Penerang tunggal seluruh langit dan bumi, menerangi sanubari hamba-hamba-Nya, menuntun mereka dengan tuntunan-tuntunan keluhuran dengan perantara hamba-hamba-Nya yang dipimpin oleh kekasih-Nya, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengan mencintai beliau maka sampailah seseorang kepada kesempurnaan iman, seraya bersabda: “Laa (belum) yu-minu (beriman) ahadukum (seorang kalian) hattaa (hingga) akuuna (aku) ahabba (lebih dicintai) ilayhi (olehnya) min (daripada) waalidiHi (orangtuanya) wa (dan) waladiHi (keturunannya) wan (dan) naasi (manusia) ajma’iin (seluruhnya).”
“Belum sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku lebih dicintainya dari ayah dan ibunya, dari anak-anaknya dan dari seluruh manusia“.
Berkata Hujjatul Islam wa barakatul anam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalany di dalam Fathul Bari bi syarh Shahih Al Bukhari, menukil perkataan Hujjatul Islam Al Imam Qadhi Iyadh (ulama terkemuka dari madzh-hab Maliki) yang berkata: “Belum sempurna iman seseorang sebelum benar-benar memahami tingginya derajat sang nabi melebihi seluruh makhluk Allah.” Makhluk Allah yang paling mulia adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu makhluk Allah yang menjadi rahasia kelembutan Ilahi yang abadi bagi hamba-hamba yang terpilih untuk mencapai keluhuran Allah subhanahu wata’ala.

Maka terangkatlah derajat para sahabat rasul radiyallahu ‘anhum wa ardhahum, sebagaimana yang telah saya sampaikan di malam Selasa yang lalu bahwa ketika gunung Uhud berguncang, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenanglah wahai Uhud sesungguhnya di atasmu ada nabi, orang shiddiq (orang yang punya integritas tinggi), dan dua orang syahid.“
Mereka adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam, sayyidina Abi Bakr As Shiddiq, sayyidina Umar bin Khattab dan sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu ‘anhum. Namun nabi tidak menyebut namanya, tidak menyebut ada Abu Bakr, Umar dan Utsman. Tetapi beliau menyebut dengan “Nabiy, Shiddiq, Syahiidan“. Kalau Shiddiq berarti bukan Abu Bakr As Shiddiq saja, siapapun para shiddiqin yang berkesinambungan dari masa ke masa, maka dengan keberadaan seorang As Shiddiq di atas sebuah gunung maka tidak pantas gunung itu berguncang dengan instruksi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka yang seharusnya ada musibah yang terjadi akan menjadi jauh dengan keberadaan para shiddiqin yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapai keridhaan Allah, mereka adalah para wali Allah, Ulama, dan Shalihin.
Rasul selalu menghindari tanah atau tempat-tempat yang dimurkai Allah, wilayah-wilayah bekas injakan orang-orang yang dimurkai Allah. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa ketika Rasul shallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan menuju Tabuk, rasul melewati tempat atau kampung bekas kaum Tsamud ribuan tahun yang lalu, maka Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan ambil sesuatu dari tempat itu, dan jangan meminum air dari sumur-sumurnya karena Allah pernah menurunkan bala’ di tempat ini kepada kaum Tsamud.“ Demikian tempat-tempat yang pernah diturunkan musibah oleh Allah di masa-masa lalu (tempat-tempat yang pernah dimurkai Allah swt), Rasulullah tidak mau berhenti untuk mengambil air atau makanan dari tempat itu, lewat saja dengan segera dan tidak mau berhenti.
Adapun tempat-tempat suci dan mulia, maka para nabi dan rasul ingin selalu dekat dengannya. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa nabi Musa ketika telah mendekati ajal, nabi Musa selalu ingin banyak beribadah maka diutuslah malaikat Izrail untuk mengujinya, ketika malikat Izrail datang ia ditampar oleh nabi Musa yang ketika itu ia berwujud manusia hingga keluar matanya dari tempatnya, maka kembalilah malaikat Izrail kepada Allah dan berkata: “Wahai Allah, Engkau mengutus aku kepada orang yang tidak mau mati, orang yang bisa melawan kepadaku.“ Maka Allah subhanahu wata’ala menjawab : “Kembali kau kepada Musa. Katakan kepadanya jika dia ingin terus hidup maka tempelkan tangannya di kulit seekor kerbau dan berapa jumlah rambut ynag tersentuh telapak tangannya maka usianya akan bertambah sebanyak rambut kerbau yang tersentuh tangannya itu.“
Maka datanglah malaikat Izrail as kepada nabi Musa as dengan wujud manusia dalam keadaan matanya telah disembuhkan oleh Allah dan berkata kepada nabi Musa: “Allah berkata jika kau ingin tetap hidup maka tempelkan tanganmu di seekor kulit kerbau dan berapa banyak rambut kerbau yang tersentuh maka sebanyak itulah akan bertambah umurmu.“ Nabi Musa as bertanya : “Lalu setelah itu apa?“ Malaikat Izrail as menjawab : “Setelah itu kau wafat.“ Mmaka nabi Musa berkata: “Jika memang akhirnya wafat juga, maka sekarang saja.“ Maka nabi Musa as memohon kepada Allah agar jenazahnya didekatkan ke wilayah yang dekat dengan tanah suci.“ (Shahih Bukhari), yaitu Palestina. Demikian permohonan nabi Musa yang meminta agar diwafatkan di tanah yang suci. Jika tadi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam di tanah yang dimurkai Allah beliau hanya sekedar melintas, tetapi di wilayah para shalihin justru di sanalah banyak diturunkan rahmat dan keberkahan.
Demikian pula sayyidina Umar Ibn Khattab radiyallahu ‘anhu , diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari yang berdoa: “Wahai Allah berilah kepadaku mati syahid di kota utusan-Mu.“ Sayyidina Umar meminta mati syahid, tetapi di kotanya Rasul saw, ingin dimakamkan di sana, di Madinah Al Munawwarah, jangan di tempat yang lain. Bahkan beliau meminta idzin kepada Sayyidah Aisyah agar dapat dimakamkan di dekat makam Nabi. Demikian sayyidina Umar dan para sahabat yang lainnya.
Dari sini, pahamlah kita bahwa manusia-manusia yang jahat dapat menyebabkan keburukan kepada alam dan apa-apa yang disentuhnya. Bahkan Nabi tak mau meminum air dari sumur-sumur kaum Tsamud. Padahal kejadiannya sudah ribuan tahun. Tetapi keburukannya (hado/aura/energi negatifnya) masih menempel pada tanah dan airnya. Namun sebaliknya, tanah Palestina yang sering diinjak oleh para Nabi dan Rasul, tanah Makkah dan Madinah yang sering diinjak oleh Rasul SAW dan para shahabat beliau, menjadi tanah yang berkah. Bahkan banyak orang yang ingin shalat di atas pijakan Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Ada juga shahabat yang meminta agar Rasul SAW shalat di rumahnya, yang mana tempat tersebut kemudian digunakan untuk tempat ibadahnya. Mereka banyak mengambil keberkahan dari apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi.
Ada di antara mereka yang menyimpan pakaian Nabi. Jika ada yang sakit, maka mereka mencelupkan pakaian tersebut ke air, lalu mereka minum airnya, dan mereka sembuh. Padahal saat itu Nabi telah wafat. Keberkahan itu dari Allah, bukan dari manusia. Keberkahan tidak ada hubungannya dengan masih hidup atau telah wafatnya seseorang yag diambil keberkahannya. Kaena kita ini menyembah Allah Yang Mahahidup, bukan menyembah manusia. Kita mengambil keberkahan dari Allah Yang Mahahidup melalui manusia yang diberkahi dan apa-apa yang pernah disentuh oleh manusia yang diberkahi Allah. Kita ini bukan menyembah manusia tersebut.
Namun orang-orang yang dangkal pemikirannya berkata bahwa keberkahan hanya boleh diambil kepada manusia yang masih hidup. Sungguh, pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang rusak yang berasal dari pemikiran penyembah manusia. Mereka berfikir bahwa manfaat dan keberkahan itu berasal dari manusia. Padahal keberkahan dan manfaat itu berasal dari Allah. Sehingga, tidak ada bedanya manusia yang menjadi perantara itu masih hidup atau telah wafat, hadir atau tidak hadir. Nabi Yusuf telah mengirimkan jubahnya kepada ayahnya. Walau Nabi Ya’qub itu seorang Nabi yang juga diberkahi, tetapi kesembuhan mata Nabi Ya’qub Allah letakkan pada Nabi Yusuf yang kemudian menular kepada jubahnya.
Apakah Anda berfikir bahwa jika Anda tidak makan nasi dan lainnya, maka Anda akan mati? Ketahuilah bahwa nasi dan makanan serta minuman hanyalah perantara untuk menyampaikan keberkahan dari Allah, berupa kekuatan dan lainnya, kepada kita. nasi bukanlah sumber kekuatan dan keberkahan. Ada saatnya nanti, manusia memakan makanan malaikat. malaikat tidak makan nasi, kurma, atau yang lainnya. Makanan mereka adalah tasbih, tahmid, tahlil, dan ibadah-ibadah lainnya kepada Allah. Allah sumber keberkahan dan pemberi manfaat serta kehidupan.
Nabi mengajarkan kita agar tidak menyia-nyiakan makanan. Nabi mengingatkan bahwa bisa jadi keberkahan itu justeru terdapat pada butir nasi terakhir. Keberkahan dari Allah berupa kesehatan, kekuatan dan manfaat lainnya biasa kita peroleh dengan cara mengkonsumsi apa yang kita yaqini diberkahi Allah, seperti nasi, kurma, dan lain-lain makanan dan minuman.
Lalu mengapa para shahabat menginginkan air wudhu Nabi, rambut Nabi, ludah Nabi, darah bekam Nabi, darah luka Nabi, dan apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi? Mereka menginginkan keberkahan yang terdapat pada itu semua, seperti kita menginginkan keberkahan yang terdapat pada nasi.
Suatu saat, Imam Syafi’i bertamu kepada gurunya, Imam Malik. Ketika disuguhni makanan, beliau pun makan dengan lahapnya sehingga puteri Imam Malik memandangnya seperti orang yang kurang adab. Maka Imam Syafi’i menjelaskan bahwa beliau meyaqini bahwa makanan yang disuguhkan di rumah gurunya tentu didapatkan dari uang gurunya yang berkah, diolah oleh orang-orang yang diberkahi, dan berada di rumah yang diberkahi karena di dalamnya terdapat orang-orang yang diberkahi. Maka pastilah makanan itu penuh dengan keberkahan. Imam Syafi’i tak mau menyia-nyiakan keberkahan semacam itu.
Jika kita telah memahami tentang keberkahan dan sifat-sifatnya serta bagaimana orang-orang salaf menyikapi keberkahan tersebut, insya Allah kita akan memahami pula tentang bolehnya bertabarruk. Jangan sampai kita menyelisihi kebiasaan salafuna. Kaum salaf telah bertabarruk, maka janganlah kita mematikan kebiasaan mereka yang mulya ini. Janganlah kita mengikuti kemauan Yahudi yang menginginkan kekalahan kaum Muslimin karena meninggalkan tabarruk dan tawassul.
Dulu, sebelum nabi diutus, orang-orang Yahudi telah bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, nabi yang dijanjikan, nabi yang ditunggu-tunggu. Setiap berperang, mereka bertawassul dengan Nabi SAW, dan mereka memperoleh kemenangan. Namun setelah Nabi yang ditunggu-tunggu itu muncul dari bangsa Arab, mereka pun mengingkarinya. walau pun mereka tahu bahwa itu memang benar-benar nabi yang ditunggu-tunggu. Pengingkaran mereka berasal dari kesombongan mereka yang menganggap bahwa bangsa Israil adalah bangsa tuan, dan bangsa Ismail adalah bangsa budak. Namun ada hal yang mengkhawatirkan mereka. Jika ummat Islam ini bertawassul dengan sang Nabi, lalu memohon kemenangan atas Yahudi, maka habislah kaum Yahudi. Maka mereka pun menjalankan segala rencana busuk untuk menjauhkan ummat Islam ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Padahal kebiasaan-kebiasaan yang baik itu jelas-jelas membawa kaum salaf kepada kemenangan. Yahudi menggunakan kedok kaum salaf untuk menjauhkan ummat ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Kebiasaan-kebiasaan yang baik pun digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti ijtihad semaunya, mengharamkan tabarruk dan tawassul, mengharamkan perayaan maulid Nabi, mengkafirkan sesama Muslim, dsb.
Mari kita hidupkan sunnah-sunnah Nabi, sunnah-sunnah salafush shalih, sunnah-sunnah yang baik. Semoga allah melindungi kita dari sunnah-sunnah kaum sebelum Nabi SAW, dari sunnah-sunnah yang buruk. Semoga Allah melindungi kita dari jalan-jalan orang-orang yang sesat dan dari jalan-jalan orang-orang yang dimurkai-Nya. Aamiin.

Sesat Tidaknya Ajaran Sufi

Tarekat adalah sebutan untuk orang-orang sufi yang menjadikan berbagai cara/jalan/metode bagi diri mereka, seperti : Tarekat Jailaniah, Rifa’iyah, Syadziiah dan lainnya.
Pada umumnya mereka adalah tarekat-tarekat bid’ah yang tidak memiliki keterkaitan dengan syara’ akan tetapi merupakan buah karya dari para pemiliknya sendiri. Mereka menentukan berbagai doa—baik yang masyru’ maupun tidak masyru’—bagi tarekatnya dengan jumlah-jumlah tertentu, dengan gerakan-gerakan tertentu di waktu-waktu tertentu dan lainnya dengan anggapan bahwa hal itu dapat membersihkan diri mereka, menyucikan hati mereka dan mengantarkan mereka ke kedudukan wali yang paling tinggi.

Tasawuf


Tasawwuf adalah sesuatu yang dicurigai. Tasawwuf dianggap termasuk sifat buruk dan tercela yang bisa menggugurkan kesaksian dan menghilangkan keadilan, sehingga dikatakan, “Si fulan tidak tsiqah dan tidak dapat diterima riwayatnya. Karena dia seorang sufi (ahli tasawwuf).”

Anehnya, kita melihat sebagian orang yang mencela tasawwuf, yang memerangi pelakunya, dan menganggap pelakunya sebagai musuh, justeru mereka melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh ahli tasawwuf, bahkan mereka tidak malu ketika mengutip ucapan imam-imam suffi dalam ceramah-ceramahnya, khuthbah-khuthbah Jum’at dan seminar-seminar. Mereka mengatakan, “Al Fudhail bin Iyadh berkata,” “Al Junayd berkata,” “Hasan Al-Bashri berkata,” “Sahl At-Tastari berkata,” “Al-Muhasibi berakta,” dan, “Bisyr Al-Hafi berkata.”
Mereka semua adalah imam dan tokoh sufi. KItab-kitab tasawwuf dipenuhi dengan perkataan, riwayat, cerita dan kebaikan mereka. Maka saya tidak tahu, aakah itu tindakan bodoh, atau pura-pura bodoh? Kebutaan atau pura-pura buta?
Saya ingin mengutip perkataan ulama yang merupakan tokoh sufi. Saya kutip ucapan mereka mengenai syari’at Islam agar kita mengetahui sikap mereka yang sebenarnya.
Imam Al-Junayd berkata, “Semua manusia menemui jalan buntu, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan mengikuti jalan-jalan kebaikannya, maka wajib bagi para pengikutnya untuk mengikuti jejaknya.”
Dzun Nuun al-Mishri berkata, “Parameter pembicaraan ada empat, yaitu cinta kepada Allah, membenci yang sedikit, mengikuti Al-Qur`an dan takut bergeser (kualitas imannya). Sebagian tanda-tanda orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla adalah mengikuti kekasih Allah dalam akhlaqnya, pekerjaannya, perintah-perintahnya dan sunnahnya.”
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah nama dari ketiga makna ini, yakni orang yang cahaya pengetahuannya tidak mematikan cahaya waro’nya, tidak berbicara dengan kedalaman ilmu yang bertentangan dengan lahiriahnya Kitabullah dan Sunnah dan tidak terdorong oleh karomah-karomah untuk merusak batasan-batasan hal yang diharamkan Allah.”
Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-hafi berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW dalam tidur, lalu Nabi berkata kepadaku, ‘Wahai Bisyr! Apakah kamu tahu mengapa Allah mengangkat (derajat)mu di antara teman-temanmu?’ Aku menjawab, ‘Tidak wahai Rasulullah!’ Rasul bersabda, ‘Sebab engkau mengikuti sunnahku, engkau berkhidmah (melayani) orang-orang shalih, engkau menasihati saudara-saudaramu, engkau mencintai shahabat-shahabatku dan keluargaku. Inilah yang mengantarkan kamu ke tempat orang-orang yang baik.’”
Abu Yazid bin Thayfur bin Isa al-Busthomi berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang mendapat karomah sehingga dia bisa terbang di udara, maka janganlah kalian tertipu, sehingga kalian melihat bagaimana dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memelihara hukum-hukum Allah dan melaksanakan syari’at-Nya”
Abul Qasim al-junayd bin Muhammad berkata, “Barangsiapa yang tidak hafal al-Qur`an dan tidak menulis as-Sunnah, maka dia tidak bisa dijadikan panutan dalam urusan ini (agama), karena ilmu kita terkait erat dengan Al-Qur`an dan as-Sunnah.” Beliau juga berkata, “Madzhab kita ini terkait erat dengan Ushul (pokok-pokok) Al-Qur`an dan As-Sunnah dan ilmu kita terbangun dengan hadits Rasulullah SAW.”
Abul Hasan Ahmad bin Muhammad an-Nawawi berkata, “barangsiapa yang engkau lihat seraya mengklaim Allah (memberi) suatu tingkah laku yang mengeluarkannya dari batasan syara’, maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah bin Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memelihara penglihatannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, menahan hawa nafsunya dari syahwat, menyinari bathinnya dengan muroqobah terus-menerus dengan mengikuti Sunnah dan membiasakan dirinya dengan makanan yang halal, maka firosahnya akan benar.”
Maka bagaimana mungkin tasawwuf ini dapat dikatakan sesat? Sedangkan ia adalah penggabungan antara aqidah dan syari’at, dan ia membaguskan akhlaq. Janganlah seseorang berkata-kata tentang apa yang tidak diketahuinya. Janganlah seseorang itu hanya membeo terhadap ustadz-ustadznya. Seekor beo hanya mengatakan apa yang didengar tanpa benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. Mengapa sebagian manusia enggan taqlid buta kepada para mujtahid, tetapi sangat gemar untuk taqlid kepada muqollid?

Paham Asy’ari


Sebagian ummat Islam tidak mengerti tentang madzhab Asy’ari, siapa orang-orang yang mengikuti imam Asy’ari, dan tidak mengerti manhaj mereka dalam masalah aqidah. Sebagian di antara mereka ada yang menisbatkan kesesatan kepada para pengikut Asy’ari atau menuduhnya keluar dari agama serta melenceng jauh dalam menyifati Allah.

Ketidak-tahuan inilah penyebab utama tercabik-cabiknya dan terpecah-belahnya golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga sebagian di antara orang=orang yang tidak tahu itu mengklaim bahwa para pengikut Asy’ari itu termasuk kelompok sesat. Saya tidak tahu bagaimana mereka membandingkan antara kelompok yang beriman dan kelompok yang sesat?
Para pengikut Asy’ari (asya’irah) adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Mereka adalah ahlus sunnah yang menentang kezhaliman mu’tazilah. Mereka adalah seperti yang disampakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, “Ulama adalah penolong ilmu agama, sedangkan para pengikut Asy’ari adalah penolong-penolong pokok agama (ushuluddin/aqidah).” (Al-Fatawa Juz IV)
Di antara Asya’irah adalah ulama ahli hadits, fiqih dan tafzir. Di antara mereka adalah:
1. Ahmad bin Hajar al-Atsqalani, seorang syaikh muhadditin, pengarang kitab Fathul Bari, suatu Syarah Shahih Bukhari, beliau seorang ulama bermadzhab Asy’ari, di mana kitabnya selalu dibutuhkan para ulama.
2. Imam an-Nawawi, pengarang kitab Syarah Shahih Muslim dan pengarang kitab-kitab yang populer yang bermadzhab Asy’ari.
3. Imam al-Qurthubi, pengarang kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur`an yang bermadzhab Asy’ari.
4. syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, pengarang kitab a-Zawajir an Iqtiraf al-Kaba-ir yang bermadzhab Asy’ari.
5. Syaikhul Fiqh dan hadits Zakariya al-Anshori yang bermadzhab Asy’ari.
6. Imam Abu Bakr al-Baqillani.
7. Imam an-Nasafi.
8. Imam Syarbini.
9. Imam Ibnul Jauzi, pengarang kitab at-Tashil fi Ulumit Tanzil.
Mereka semua adalah para ulama yang bermadzhab Asy’ari. Sekiranya kita ingin menghitung ulama-ulama pakar hadits, fiqih, dan tafsir dari kalangan Asy’ari, niscaya kita mendapat kesulitan dan kita memerlukan berjilid-jilid kitab mereka untuk menjelaskan mereka semua. Sesungguhnya merupakan keharusan bagi kita untuk mengembalikan kebaikan kepada para pemiliknya, mengetahui keutamaan pemilik ilmu dan keutamaan para ulama yang berkhidmat kepada syari’at Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita harapkan, jika ulama-ulama dan para pendahulu kita yang shalih ini kita tuduh sesat dan melenceng? Bagaimana Allah akan membuka hati kita untuk menimba ilmu mereka jika kitapernah meyakini bahwa mereka telah melenceng dan sesat dari jalan Islam?
Jika Ahmad bin Hajar al-Atsqalani, Imam an-Nawawi, Imam al-Qurthubi, Ibnu Hajar al-Haitami, Zakariya al-Anshori, Imam Abu Bakr al-Baqillani, Imam an-Nasafi dan ulama-ulama pakar lainnya itu tidak termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?

Tauhid Wahabi

Dalam ajaran Salafy dikatakan bahwa Tauhid itu terbagi 3, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma` wash Shifah. Tauhid Rububiyah itu mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyaqini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluq. Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqorrub yang disyari’atkan seperti do’a, nazar, qurban, roja’, khouf, tawakkal, roghbah, rahbah, dan inabah. Dan mereka beranggapan bahwa Rasul diutus untuk mengajarkan Tauhid Uluhiyah. Karena menurut mereka, orang-orang musyrik dan kafir itu sebenarnya mengakui Rububiyah Allah, tetapi tidak mengakui Uluhiyah Allah.

Imam Bukhari juga bermadzhab


Jangan dikira bahwa madzhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermadzhab. Di dalam kitab “Al-Imam Asy-Syafi”i, Bainal Madzhabihil Qadim wal Jadid”, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi’i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistinbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid muthlaq. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam madzhab Syafi’i. Dengan demikian, beliau adalah salah satu ulama besar yang bermadzhab, yaitu madzhab Syafi’i.

Ada juga di antara murid madzhab As-Syafi’i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istinbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri madzhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi’i mengetahui muridnya mendirikan madzhab sendiri? Beliau berkomentar, “Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal.” Bahkan Imam Syafi’i juga pernah menimba ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Guru jadi murid, murid jadi guru. Begitulah para ulama, mereka tidak malu menimba ilmu bahkan kepada muridnya sendiri.
Mengapa Bermadzhab?
Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 7.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali bagi setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah, bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab Imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.
Imam Bukhari itu menghafal lebih dari 600 ribu hadits. Hadits shahih yang beliau hafal belum semuanya dituliskan. Masih banyak hadits shahih yang belum beliau tuliskan, atau sudah beliau tulis, namun dalam kitab lain. Imam Ahmad, beliau menghafal 1 juta hadits. Belum lagi muhadditsin lainnya.
Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya. Mengapa harus demikian? Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?
Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?
Jawabnya, para ulama madzhab-madzhab itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan ”mega proyek” itu. Dan mereka -Alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlash, mereka tidak pernah minta bayaran.
Masa perkembangan madzhab-madzhab besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Madzhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari ummat Islam, karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitnbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah, sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istinbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istinbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis. Karena itulah keempat madzhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.
Kita sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam asy-Syafi’i, kok tidak mengikuti Rasulullah saw saja?”, atau “siapa yang lebih alim, Rasulullah saw atau Imam asy-Syafi’i?” Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih.
Ketika seseorang itu mengikuti Imam asy-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah saw. Karena bagaimanapun Imam asy-Syafi’i itu bukan saingan Rasulullah saw atau menggantikan posisi beliau sebagai Nabi. Para ulama yang mengikuti madzhab asy-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, Daraquthni, al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam asy-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw secara menyeluruh. Ketika mereka mengikuti asy-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih paham dari mereka, yaitu Imam asy-Syafi’i.
Hal tersebut dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah saw menjelaskan sampai pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah saw dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama seperti dalam ayat “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Dalam ayat itu, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh para anti madzhab.
Lalu bagaimana dengan kita yang tidak bertemu dengan para imam itu? Para imam itu mempunyai murid, muridnya mempunyai murid, terus begitu. Nah, pelajarilah ilmu mereka melalui ulama yang sanad ilmunya bersambung kepada para Imam itu. Ada pun para Imam, tentunya sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul SAW.
Alhamdulillah, di Indonesia ini banyak ulama-ulama bermadzhab Syafi’i yang sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul. Walau pun sanad ilmu mereka tidak mereka sebutkan, kita tahu bahwa mereka telah berguru kepada ulama-ulama Syafi’iyah yang telah berguru kepada ulama-ulama Syafi’iyah juga dan bersambung hingga ke Imam Syafi’i. Jika masih ragu, kita dapat mencocokkan ilmu mereka dengan ilmu dari ulama-ulama yang menjelaskan sanad mereka.
Seperti halnya ustadz di tempat saya, beliau telah banyak mengambil ijazah dari Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Sehingga kitab-kitab yang beliau ajarkan itu memang benar berisi ilmu dari madzhab Syafi’iyyah. Sehingga makin jelaslah bahwa ilmu yang beliau ajarkan itu bersambung sanadnya kepada Imam Syafi’i. Padahal dulunya beliau juga pernah belajar dan mengamalkan ajaran Salafy Wahhabi. Beliau bahkan pernah membubarkan suatu acara tahlilan yang sedang dilakukan di salah satu rumah warga. Tetapi Alhamdulillah, beliau bertaubat dan meninggalkan ajaran-ajaran Salafy Wahhabi itu dan kemudian mempelajari ilmu-ilmu ASWAJA yang benar dan bermadzhab Syafi’i. Beliau belajar kepada KH. Abdullah Syafi’i, KH. Syafi’i Hadzami, Guru Mughni, dll. Dan hingga kini, beliau menjadi ustadz Sunni-Syafi’i yang diakui keilmuannya.

Ta’wil

Ta’wil adalah mengeluarkan (memalingkan) lafazh dari maknannya yang zhahir ke makna lain yang tidak zhahir yang dikandungnya.
Penerapan ta’wil hanya sah jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Lafazh tersebut memang menyimpan makna ta’wil walau pun itu sangat jauh. Artinya, makna itu tidak asing sama sekali dari lafazhnya.
2. Harus ada faktor yang memaksa diterapkannya ta’wil.
3. Ta’wil itu harus mempunyai sanad (sandaran) yang bisa dipegang, sebagai faktor penyebab diterapkannya ta’wil.

Imam Ahmad bukan seorang Mujassimah


Tasybih adalah penyerupaan, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluq. Sedangkan tajsim adalah penjisiman, yaitu menganggap bahwa Allah mempunyai jisim atau badan jasmani.
Imam al-Hâfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan Imam al-Hâfizh ad-Daruquthni (w 385 H), berkata: “Ada dua orang shalih yang diberi fitnah dengan orang-orang yang sangat buruk dalam aqidahnya. Mereka menyandarkan aqidah buruk itu kepada keduanya, padahal keduanya terbebas dari aqidah buruk tersebut. Kedua orang itu adalah Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal.”.

Orang pertama, yaitu Imam Ja’far ash-Shadiq ibn Imam Muhammad al-Baqir ibn Imam Ali Zainal Abidin ibn Imam asy-Syahid al-Husain ibn Imam Ali ibn Abi Thalib, beliau adalah fuqoha yang shalih yang dianggap oleh kaum Syi’ah Rafidhah sebagai Imam mereka. Seluruh keyakinan buruk yang ada di dalam ajaran Syi’ah Rafidlah ini mereka sandarkan kepadanya, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang mereka yakini.
Orang ke dua adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, salah seorang Imam madzhab yang empat, perintis madzhab Hanbali. Kesucian ajaran dan madzhab yang beliau rintis telah dikotori oleh orang-orang Musyabbihah yang mengaku sebagai pengikut madzhabnya. Mereka banyak melakukan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan atas nama Ahmad ibn Hanbal, seperti aqidah tajsîm, tasybîh, anti ta’wil, anti tawassul, anti tabarruk, dan lainnya, yang sama sekali itu semua tidak pernah diyakini oleh Imam Ahmad sendiri. Terlebih di zaman sekarang ini, madzhab Hanbali dapat dikatakan telah “hancur” karena dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah meridhainya- mengatakan: ”Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda tetapi tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir.” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abul Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan: “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya.”
Maka jelaslah bahwa jika ada orang yang berkata, ”Allah itu mempunyai tangan tetapi tidak seperti tangan makhluq,” maka ia telah keluar dari agama Islam. Atau berkata, ”Allah itu turun ke langit dunia tetapi tidak seperti turunnya makhluq,” maka ia juga telah keluar dari agama Islam. Begitu pula yang berkeyaqinan bahwa Allah mempunyai dua tangan dan kedua-duanya adalah kanan.

Allah tidak membutuhkan makhluq


Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. [QS. Al-’Ankabut: 6]
Allah tidak membutuhkan makhluq-Nya. Allah bukanlah al-faqir, tetapi al-Ghaniyy. Allah Mahakaya dan tidak membutuhkan alam semesta. Allah tidak membutuhkan perhatian makhluq-Nya. Allah tidak membutuhkan amal shalih makhluq-Nya. Allah tak membutuhkan jihad makhluq-Nya. Allah tak membutuhkan shalat makhluq-Nya. Allah tak membutuhkan ketaqwaan makhluq-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya dari semesta alam, yaitu dari manusia, jin dan Malaikat, dalam arti kata Dia tidak memerlukan sesuatu pun dari mereka, juga Dia tidak membutuhkan ibadah mereka kepada-Nya.

Dari Abu Dzar Al Ghifari, Nabi bersabda bahwa Allah berfirman: ”Wahai hambaKu seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa diantara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin di antara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun juga. [HQR. Muslim]
Diriwayatkan dalam hadits Qudsiy dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW bahwa Allah SWT berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit, tetapi kau tak menjenguk-Ku.” Maka berkatalah keturunan Adam : ”Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?” Maka Allah menjawab : ”Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya? Tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim)
Allah tidak benar-beanr sakit. Jika dikatakan bahwa Allah sakit tetapi tidak seperti sakitnya kita, maka itu perkataan kufur. Akan tetapi jika kita menjenguk orang yang sakit maka kita akan menemui Allah berada di sisi orang sakit itu. Allah berada di sisi orang yang sakit itu? Berada di sisinya?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits qudsiy di atas dalam kitabnya yaitu Syarah Nawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba-Nya, dan kemuliaan serta kedekatan-Nya pada hamba-Nya itu. ”Wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii ’indahu” dan makna ucapan : ”Akan kau temui aku disisinya” adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan-Ku di sisinya. (Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Maka jelaslah bahwa Imam Nawawi telah mena’wil ”Wajadtanii ’indahuu” dengan adanya pahala dari Allah dan juga kedermawanan Allah bagi orang yang menjenguk orang yang sakit.
Allah ada sedangkan tempat belum ada, dan Dia tetap seperti semula, ada tanpa tempat. Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum mencipta. Dengan terciptanya para makhluq, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Yang selalu tetap dengan sifat-sifat­Nya semenjak dahulu tanpa berawal, dan akan terus kekal dengan-Nya, sifat-sifat-Nya selamanya.
Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk, anggota tubuh dan perangkatnya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) yang mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.
Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawah ’arsy. Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atas ’arsy.
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ
Ya Allah, Engkaulah Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Engkaulah Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atas-Mu. Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu selain-Mu.  (HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud)

Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah

Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi-Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.
 

Konsensus Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat”

Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah Wahhabi

Jumat, 17 Juni 2011



بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد 


Allah berfirman:


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )


“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)

Al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi Berkeyakinan Allah ada tanpa tempat

Seorang teolog terkemuka, ahi fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah. Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut

 “Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.


Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .

AL-IMAM FAKHR AR-RAZI BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT


• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:

“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .

Imam Al-Ghozali BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT


Al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya’ Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada bagian Qawa’id al-Aqa’id. . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:

Imam Bukhari BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, para ulama salaf saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam menetapkan keyakinan suci ini. Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah juga merupakan keyakinan Syaikhul Muhadditsin al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), penulis kitab yang sangat mashur; Shahih al-Bukhari. Para ulama yang datang sesudah beliau yang menuliskan syarh bagi kitabnya tersebut menyebutkan bahwa al-Imam al-Bukhari adalah seorang ahli Tauhid, beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. 

IMAM AHMAD IBN HANBAL BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:


وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.


“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

IMAM SYAFI’I BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata: 

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:



واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)


“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).


Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata: 

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)


“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).


Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. 

SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.

Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum..... 

IMAM ABU HANIFAH BERKEYAKINAN ALLAH ADA TANPA TEMPAT


Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..

Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...

bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...

Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...

Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).

Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.


Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut: 


وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata: 

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan: 

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

 “Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan: 

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”. 

Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.

Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut: 

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”. 

Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.

Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.

Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99). 

Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).

Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.

Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409). 

Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433). 

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). 

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah. 

(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).

Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini: 

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449). 

Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.