Keberkahan (Tabarruk)

Sabtu, 18 Juni 2011


Hamdan li Robbin khoshshonaa bi Muhammadin wa anqodzanaa min zhulumatil jaHli wad dayaajiri, alhamdu lillaaHil ladzii Hadaanaa bi ‘abdiHil mukhtaari man da’aanaa ilayHi bil idzni wa qod naadaanaa, labbayka yaa man dallanaa wa hadaanaa shallallooHu wa sallam wa baarik ‘alaiih wa ‘alaa aaliH. Alhamdu lillaaHil ladzii jama’anaa fi Haadzal majma’il kariim wa fii Haadzal jam’il ‘azhiim.
Limpahan puji ke hadirat Allah, Maha Penguasa setiap ruh dan jiwa, Maha menerangi jiwa dan sanubari dengan cahaya khusyu’, Maha menenangkan jiwa dengan lezatnya doa, Maha memberi kemuliaan dalam sanubari agar terang benderang dan menjauh dari segala perbuatan hina dan selalu ingin dekat dengan Yang Maha Bercahaya. Allah Sang Penerang tunggal seluruh langit dan bumi, menerangi sanubari hamba-hamba-Nya, menuntun mereka dengan tuntunan-tuntunan keluhuran dengan perantara hamba-hamba-Nya yang dipimpin oleh kekasih-Nya, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengan mencintai beliau maka sampailah seseorang kepada kesempurnaan iman, seraya bersabda: “Laa (belum) yu-minu (beriman) ahadukum (seorang kalian) hattaa (hingga) akuuna (aku) ahabba (lebih dicintai) ilayhi (olehnya) min (daripada) waalidiHi (orangtuanya) wa (dan) waladiHi (keturunannya) wan (dan) naasi (manusia) ajma’iin (seluruhnya).”
“Belum sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku lebih dicintainya dari ayah dan ibunya, dari anak-anaknya dan dari seluruh manusia“.
Berkata Hujjatul Islam wa barakatul anam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalany di dalam Fathul Bari bi syarh Shahih Al Bukhari, menukil perkataan Hujjatul Islam Al Imam Qadhi Iyadh (ulama terkemuka dari madzh-hab Maliki) yang berkata: “Belum sempurna iman seseorang sebelum benar-benar memahami tingginya derajat sang nabi melebihi seluruh makhluk Allah.” Makhluk Allah yang paling mulia adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu makhluk Allah yang menjadi rahasia kelembutan Ilahi yang abadi bagi hamba-hamba yang terpilih untuk mencapai keluhuran Allah subhanahu wata’ala.

Maka terangkatlah derajat para sahabat rasul radiyallahu ‘anhum wa ardhahum, sebagaimana yang telah saya sampaikan di malam Selasa yang lalu bahwa ketika gunung Uhud berguncang, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenanglah wahai Uhud sesungguhnya di atasmu ada nabi, orang shiddiq (orang yang punya integritas tinggi), dan dua orang syahid.“
Mereka adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam, sayyidina Abi Bakr As Shiddiq, sayyidina Umar bin Khattab dan sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu ‘anhum. Namun nabi tidak menyebut namanya, tidak menyebut ada Abu Bakr, Umar dan Utsman. Tetapi beliau menyebut dengan “Nabiy, Shiddiq, Syahiidan“. Kalau Shiddiq berarti bukan Abu Bakr As Shiddiq saja, siapapun para shiddiqin yang berkesinambungan dari masa ke masa, maka dengan keberadaan seorang As Shiddiq di atas sebuah gunung maka tidak pantas gunung itu berguncang dengan instruksi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka yang seharusnya ada musibah yang terjadi akan menjadi jauh dengan keberadaan para shiddiqin yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapai keridhaan Allah, mereka adalah para wali Allah, Ulama, dan Shalihin.
Rasul selalu menghindari tanah atau tempat-tempat yang dimurkai Allah, wilayah-wilayah bekas injakan orang-orang yang dimurkai Allah. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa ketika Rasul shallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan menuju Tabuk, rasul melewati tempat atau kampung bekas kaum Tsamud ribuan tahun yang lalu, maka Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan ambil sesuatu dari tempat itu, dan jangan meminum air dari sumur-sumurnya karena Allah pernah menurunkan bala’ di tempat ini kepada kaum Tsamud.“ Demikian tempat-tempat yang pernah diturunkan musibah oleh Allah di masa-masa lalu (tempat-tempat yang pernah dimurkai Allah swt), Rasulullah tidak mau berhenti untuk mengambil air atau makanan dari tempat itu, lewat saja dengan segera dan tidak mau berhenti.
Adapun tempat-tempat suci dan mulia, maka para nabi dan rasul ingin selalu dekat dengannya. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa nabi Musa ketika telah mendekati ajal, nabi Musa selalu ingin banyak beribadah maka diutuslah malaikat Izrail untuk mengujinya, ketika malikat Izrail datang ia ditampar oleh nabi Musa yang ketika itu ia berwujud manusia hingga keluar matanya dari tempatnya, maka kembalilah malaikat Izrail kepada Allah dan berkata: “Wahai Allah, Engkau mengutus aku kepada orang yang tidak mau mati, orang yang bisa melawan kepadaku.“ Maka Allah subhanahu wata’ala menjawab : “Kembali kau kepada Musa. Katakan kepadanya jika dia ingin terus hidup maka tempelkan tangannya di kulit seekor kerbau dan berapa jumlah rambut ynag tersentuh telapak tangannya maka usianya akan bertambah sebanyak rambut kerbau yang tersentuh tangannya itu.“
Maka datanglah malaikat Izrail as kepada nabi Musa as dengan wujud manusia dalam keadaan matanya telah disembuhkan oleh Allah dan berkata kepada nabi Musa: “Allah berkata jika kau ingin tetap hidup maka tempelkan tanganmu di seekor kulit kerbau dan berapa banyak rambut kerbau yang tersentuh maka sebanyak itulah akan bertambah umurmu.“ Nabi Musa as bertanya : “Lalu setelah itu apa?“ Malaikat Izrail as menjawab : “Setelah itu kau wafat.“ Mmaka nabi Musa berkata: “Jika memang akhirnya wafat juga, maka sekarang saja.“ Maka nabi Musa as memohon kepada Allah agar jenazahnya didekatkan ke wilayah yang dekat dengan tanah suci.“ (Shahih Bukhari), yaitu Palestina. Demikian permohonan nabi Musa yang meminta agar diwafatkan di tanah yang suci. Jika tadi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam di tanah yang dimurkai Allah beliau hanya sekedar melintas, tetapi di wilayah para shalihin justru di sanalah banyak diturunkan rahmat dan keberkahan.
Demikian pula sayyidina Umar Ibn Khattab radiyallahu ‘anhu , diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari yang berdoa: “Wahai Allah berilah kepadaku mati syahid di kota utusan-Mu.“ Sayyidina Umar meminta mati syahid, tetapi di kotanya Rasul saw, ingin dimakamkan di sana, di Madinah Al Munawwarah, jangan di tempat yang lain. Bahkan beliau meminta idzin kepada Sayyidah Aisyah agar dapat dimakamkan di dekat makam Nabi. Demikian sayyidina Umar dan para sahabat yang lainnya.
Dari sini, pahamlah kita bahwa manusia-manusia yang jahat dapat menyebabkan keburukan kepada alam dan apa-apa yang disentuhnya. Bahkan Nabi tak mau meminum air dari sumur-sumur kaum Tsamud. Padahal kejadiannya sudah ribuan tahun. Tetapi keburukannya (hado/aura/energi negatifnya) masih menempel pada tanah dan airnya. Namun sebaliknya, tanah Palestina yang sering diinjak oleh para Nabi dan Rasul, tanah Makkah dan Madinah yang sering diinjak oleh Rasul SAW dan para shahabat beliau, menjadi tanah yang berkah. Bahkan banyak orang yang ingin shalat di atas pijakan Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Ada juga shahabat yang meminta agar Rasul SAW shalat di rumahnya, yang mana tempat tersebut kemudian digunakan untuk tempat ibadahnya. Mereka banyak mengambil keberkahan dari apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi.
Ada di antara mereka yang menyimpan pakaian Nabi. Jika ada yang sakit, maka mereka mencelupkan pakaian tersebut ke air, lalu mereka minum airnya, dan mereka sembuh. Padahal saat itu Nabi telah wafat. Keberkahan itu dari Allah, bukan dari manusia. Keberkahan tidak ada hubungannya dengan masih hidup atau telah wafatnya seseorang yag diambil keberkahannya. Kaena kita ini menyembah Allah Yang Mahahidup, bukan menyembah manusia. Kita mengambil keberkahan dari Allah Yang Mahahidup melalui manusia yang diberkahi dan apa-apa yang pernah disentuh oleh manusia yang diberkahi Allah. Kita ini bukan menyembah manusia tersebut.
Namun orang-orang yang dangkal pemikirannya berkata bahwa keberkahan hanya boleh diambil kepada manusia yang masih hidup. Sungguh, pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang rusak yang berasal dari pemikiran penyembah manusia. Mereka berfikir bahwa manfaat dan keberkahan itu berasal dari manusia. Padahal keberkahan dan manfaat itu berasal dari Allah. Sehingga, tidak ada bedanya manusia yang menjadi perantara itu masih hidup atau telah wafat, hadir atau tidak hadir. Nabi Yusuf telah mengirimkan jubahnya kepada ayahnya. Walau Nabi Ya’qub itu seorang Nabi yang juga diberkahi, tetapi kesembuhan mata Nabi Ya’qub Allah letakkan pada Nabi Yusuf yang kemudian menular kepada jubahnya.
Apakah Anda berfikir bahwa jika Anda tidak makan nasi dan lainnya, maka Anda akan mati? Ketahuilah bahwa nasi dan makanan serta minuman hanyalah perantara untuk menyampaikan keberkahan dari Allah, berupa kekuatan dan lainnya, kepada kita. nasi bukanlah sumber kekuatan dan keberkahan. Ada saatnya nanti, manusia memakan makanan malaikat. malaikat tidak makan nasi, kurma, atau yang lainnya. Makanan mereka adalah tasbih, tahmid, tahlil, dan ibadah-ibadah lainnya kepada Allah. Allah sumber keberkahan dan pemberi manfaat serta kehidupan.
Nabi mengajarkan kita agar tidak menyia-nyiakan makanan. Nabi mengingatkan bahwa bisa jadi keberkahan itu justeru terdapat pada butir nasi terakhir. Keberkahan dari Allah berupa kesehatan, kekuatan dan manfaat lainnya biasa kita peroleh dengan cara mengkonsumsi apa yang kita yaqini diberkahi Allah, seperti nasi, kurma, dan lain-lain makanan dan minuman.
Lalu mengapa para shahabat menginginkan air wudhu Nabi, rambut Nabi, ludah Nabi, darah bekam Nabi, darah luka Nabi, dan apa-apa yang pernah bersentuhan dengan Nabi? Mereka menginginkan keberkahan yang terdapat pada itu semua, seperti kita menginginkan keberkahan yang terdapat pada nasi.
Suatu saat, Imam Syafi’i bertamu kepada gurunya, Imam Malik. Ketika disuguhni makanan, beliau pun makan dengan lahapnya sehingga puteri Imam Malik memandangnya seperti orang yang kurang adab. Maka Imam Syafi’i menjelaskan bahwa beliau meyaqini bahwa makanan yang disuguhkan di rumah gurunya tentu didapatkan dari uang gurunya yang berkah, diolah oleh orang-orang yang diberkahi, dan berada di rumah yang diberkahi karena di dalamnya terdapat orang-orang yang diberkahi. Maka pastilah makanan itu penuh dengan keberkahan. Imam Syafi’i tak mau menyia-nyiakan keberkahan semacam itu.
Jika kita telah memahami tentang keberkahan dan sifat-sifatnya serta bagaimana orang-orang salaf menyikapi keberkahan tersebut, insya Allah kita akan memahami pula tentang bolehnya bertabarruk. Jangan sampai kita menyelisihi kebiasaan salafuna. Kaum salaf telah bertabarruk, maka janganlah kita mematikan kebiasaan mereka yang mulya ini. Janganlah kita mengikuti kemauan Yahudi yang menginginkan kekalahan kaum Muslimin karena meninggalkan tabarruk dan tawassul.
Dulu, sebelum nabi diutus, orang-orang Yahudi telah bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, nabi yang dijanjikan, nabi yang ditunggu-tunggu. Setiap berperang, mereka bertawassul dengan Nabi SAW, dan mereka memperoleh kemenangan. Namun setelah Nabi yang ditunggu-tunggu itu muncul dari bangsa Arab, mereka pun mengingkarinya. walau pun mereka tahu bahwa itu memang benar-benar nabi yang ditunggu-tunggu. Pengingkaran mereka berasal dari kesombongan mereka yang menganggap bahwa bangsa Israil adalah bangsa tuan, dan bangsa Ismail adalah bangsa budak. Namun ada hal yang mengkhawatirkan mereka. Jika ummat Islam ini bertawassul dengan sang Nabi, lalu memohon kemenangan atas Yahudi, maka habislah kaum Yahudi. Maka mereka pun menjalankan segala rencana busuk untuk menjauhkan ummat Islam ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Padahal kebiasaan-kebiasaan yang baik itu jelas-jelas membawa kaum salaf kepada kemenangan. Yahudi menggunakan kedok kaum salaf untuk menjauhkan ummat ini dari kebiasaan-kebiasaan kaum salaf. Kebiasaan-kebiasaan yang baik pun digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti ijtihad semaunya, mengharamkan tabarruk dan tawassul, mengharamkan perayaan maulid Nabi, mengkafirkan sesama Muslim, dsb.
Mari kita hidupkan sunnah-sunnah Nabi, sunnah-sunnah salafush shalih, sunnah-sunnah yang baik. Semoga allah melindungi kita dari sunnah-sunnah kaum sebelum Nabi SAW, dari sunnah-sunnah yang buruk. Semoga Allah melindungi kita dari jalan-jalan orang-orang yang sesat dan dari jalan-jalan orang-orang yang dimurkai-Nya. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini