Tasawuf

Sabtu, 18 Juni 2011


Tasawwuf adalah sesuatu yang dicurigai. Tasawwuf dianggap termasuk sifat buruk dan tercela yang bisa menggugurkan kesaksian dan menghilangkan keadilan, sehingga dikatakan, “Si fulan tidak tsiqah dan tidak dapat diterima riwayatnya. Karena dia seorang sufi (ahli tasawwuf).”

Anehnya, kita melihat sebagian orang yang mencela tasawwuf, yang memerangi pelakunya, dan menganggap pelakunya sebagai musuh, justeru mereka melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh ahli tasawwuf, bahkan mereka tidak malu ketika mengutip ucapan imam-imam suffi dalam ceramah-ceramahnya, khuthbah-khuthbah Jum’at dan seminar-seminar. Mereka mengatakan, “Al Fudhail bin Iyadh berkata,” “Al Junayd berkata,” “Hasan Al-Bashri berkata,” “Sahl At-Tastari berkata,” “Al-Muhasibi berakta,” dan, “Bisyr Al-Hafi berkata.”
Mereka semua adalah imam dan tokoh sufi. KItab-kitab tasawwuf dipenuhi dengan perkataan, riwayat, cerita dan kebaikan mereka. Maka saya tidak tahu, aakah itu tindakan bodoh, atau pura-pura bodoh? Kebutaan atau pura-pura buta?
Saya ingin mengutip perkataan ulama yang merupakan tokoh sufi. Saya kutip ucapan mereka mengenai syari’at Islam agar kita mengetahui sikap mereka yang sebenarnya.
Imam Al-Junayd berkata, “Semua manusia menemui jalan buntu, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan mengikuti jalan-jalan kebaikannya, maka wajib bagi para pengikutnya untuk mengikuti jejaknya.”
Dzun Nuun al-Mishri berkata, “Parameter pembicaraan ada empat, yaitu cinta kepada Allah, membenci yang sedikit, mengikuti Al-Qur`an dan takut bergeser (kualitas imannya). Sebagian tanda-tanda orang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla adalah mengikuti kekasih Allah dalam akhlaqnya, pekerjaannya, perintah-perintahnya dan sunnahnya.”
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah nama dari ketiga makna ini, yakni orang yang cahaya pengetahuannya tidak mematikan cahaya waro’nya, tidak berbicara dengan kedalaman ilmu yang bertentangan dengan lahiriahnya Kitabullah dan Sunnah dan tidak terdorong oleh karomah-karomah untuk merusak batasan-batasan hal yang diharamkan Allah.”
Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-hafi berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW dalam tidur, lalu Nabi berkata kepadaku, ‘Wahai Bisyr! Apakah kamu tahu mengapa Allah mengangkat (derajat)mu di antara teman-temanmu?’ Aku menjawab, ‘Tidak wahai Rasulullah!’ Rasul bersabda, ‘Sebab engkau mengikuti sunnahku, engkau berkhidmah (melayani) orang-orang shalih, engkau menasihati saudara-saudaramu, engkau mencintai shahabat-shahabatku dan keluargaku. Inilah yang mengantarkan kamu ke tempat orang-orang yang baik.’”
Abu Yazid bin Thayfur bin Isa al-Busthomi berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang mendapat karomah sehingga dia bisa terbang di udara, maka janganlah kalian tertipu, sehingga kalian melihat bagaimana dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memelihara hukum-hukum Allah dan melaksanakan syari’at-Nya”
Abul Qasim al-junayd bin Muhammad berkata, “Barangsiapa yang tidak hafal al-Qur`an dan tidak menulis as-Sunnah, maka dia tidak bisa dijadikan panutan dalam urusan ini (agama), karena ilmu kita terkait erat dengan Al-Qur`an dan as-Sunnah.” Beliau juga berkata, “Madzhab kita ini terkait erat dengan Ushul (pokok-pokok) Al-Qur`an dan As-Sunnah dan ilmu kita terbangun dengan hadits Rasulullah SAW.”
Abul Hasan Ahmad bin Muhammad an-Nawawi berkata, “barangsiapa yang engkau lihat seraya mengklaim Allah (memberi) suatu tingkah laku yang mengeluarkannya dari batasan syara’, maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah bin Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memelihara penglihatannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, menahan hawa nafsunya dari syahwat, menyinari bathinnya dengan muroqobah terus-menerus dengan mengikuti Sunnah dan membiasakan dirinya dengan makanan yang halal, maka firosahnya akan benar.”
Maka bagaimana mungkin tasawwuf ini dapat dikatakan sesat? Sedangkan ia adalah penggabungan antara aqidah dan syari’at, dan ia membaguskan akhlaq. Janganlah seseorang berkata-kata tentang apa yang tidak diketahuinya. Janganlah seseorang itu hanya membeo terhadap ustadz-ustadznya. Seekor beo hanya mengatakan apa yang didengar tanpa benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. Mengapa sebagian manusia enggan taqlid buta kepada para mujtahid, tetapi sangat gemar untuk taqlid kepada muqollid?

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini