Ta’wil

Sabtu, 18 Juni 2011

Ta’wil adalah mengeluarkan (memalingkan) lafazh dari maknannya yang zhahir ke makna lain yang tidak zhahir yang dikandungnya.
Penerapan ta’wil hanya sah jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Lafazh tersebut memang menyimpan makna ta’wil walau pun itu sangat jauh. Artinya, makna itu tidak asing sama sekali dari lafazhnya.
2. Harus ada faktor yang memaksa diterapkannya ta’wil.
3. Ta’wil itu harus mempunyai sanad (sandaran) yang bisa dipegang, sebagai faktor penyebab diterapkannya ta’wil.


Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka. [QS. Al-Fath: 10]
Lafazh ”Yadullah” (tangan Allah) bisa menimbulkan pengertian tasybih (penyerupaan). Sehingga zhahir nash ayat ini menyelisihi kaidah-kaidah agama. Kaena Allah itu tidak serupa dengan makhluq-Nya.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. [QS. Asy-Syura: 11]
Maka faktor ini mendorong diterapkannya ta’wil. Selain itu, lafazh ”yad” (tangan) memang mengandung makna lain, misalnya kekuasaan, penyertaan, penerimaan, dsb.
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu” …… Bahkan kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. [QS. Al-Ma-idah: 64]
Orang-orang Yahudi berkata bahwa tangan Allah itu terbelenggu. Maksudnya mereka ingin berkata bahwa Allah itu kikir. Kalau orang Indonesia biasa menyebutnya dengan tangan yang tergenggam atau ”tangannya mengepal”. Padahal sesungguhnya tangan Allah itu terbuka lebar, yaitu pemurah, suka memberi, tidak kikir seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi.
Tuhan yang Mahapemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy. [QS. Thoha]
Maknyanya adalah Allah menguasai ’Arsy. Jika dipahami secara zhahir, maka akan muncul pemikiran bahwa Allah mengambil tempat, dan ini mustahil bagi Allah.
Pena’wilan seperti ini adalah demi menjaga kesucian Allah dari keserupaan dengan makhluq. Penerapan ta’wil seperti ini juga sesuai aqal sehat serta memenuhi seluruh persyaratan ta’wil.
Walaupun kita harus mengakui bahwa ini tidak bisa dibilang sebagai ta’wil yang utuh lantaran cara yang ditempuh melalui majaz masyhur, toh orang Arab bila mendengar orang berkata, ”Raja meletakkan tangannya di atas kota,” akan memahaminya sebagai, ”Raja menggelar kekuasaannya di atas kota.”

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini