QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI

Jumat, 17 Juni 2011

Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau dirincikan maka akan nampak tidak
ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) 20 berpendapat
bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para
Imam syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benarbenar
diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan.


Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah dalam masalah seperti
ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para
mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut
syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama
berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan
selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan
19 Lihat ; Syarah Shahih Muslim [1/89-90] ;
20 Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ;
وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجھا أن ثواب القراءة يصل إلى الميت كمذھب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من
الأصحاب منھم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون، وعليه عمل الناس، وما رآه
المسلمون حسنا فھو عند لله حسن، وقال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت
وتخفيف ما ھو فيه نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بھا القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى لله عليه وسلم - بقوله:
وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بھا أولى اھ. « وما يدريك أنھا رقية »
“dan diceritakan oleh mushannif didalam Syarh Muslim dan al-Adzkar tentang suatu pendapat bahawa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit, seperti madzhab Imam Tiga (Abu Hanifah, Maliki dan Ahmad bin Hanbal), dan sekelompok jama’ah dari al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) telah memilih pendapat ini, diantaranya seperti Ibnu Shalah, al-Muhib ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahib ad-Dakhair juga Ibnu ‘Abi Ishruun, dan umat Islam beramal dengan hal tersebut, apa yang oleh kaum Muslimin di pandang baik maka itu baik disisi Allah. Imam As-Subki berkata : dan yang menujukkan atas hal tersebut adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di tujukan (diniatkan) pembacaannya niscaya memberikan manfaat kepada mayyit dan meringankan (siksa) dengan kemanfaatannya. Apabila telah tsabit bahwa surah al-Fatihah ketika di tujukan (diniatkan) manfaatnya oleh si pembaca bisa bermanfaat bagi orang yang terkena sengatan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam taqrir atas kejadian tersebut dengan bersabda : “Dari mana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah adalah ruqiyyah ?”, jika bermanfaat bagi orang hidup dengan mengqashadkannya (meniatkannya) maka kemanfaatan bagi mayyit dengan hal tersebut lebih utama. Selesai”.
I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258] ;
وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجھا أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، كمذھب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من
الأصحاب، منھم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون وعليه عمل الناس وما رآه
المسلمون حسنا فھو عند لله حسن وقال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف
ما ھو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بھا القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى لله عليه وسلم - بقوله: وما يدريك
أنھا رقية؟ وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بھا أولى اه (قوله: لا يصل ثوابھا إلى الميت) ضعيف (وقوله: وقال بعض أصحابنا
يصل) معتمد
“...... (frasa, pahala bacaaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit) merupakan qaul yang lemah (frasa ; dan
sebagian ashhab kami –syafi’iyyah- mengatakan sampai pahalanya kepada mayyit ) merupakan qaul yang kuat atau
mukmatad”.
Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami) [2/302] :
وقد نقل الحافظ السيوطي أن جمھور السلف والأئمة الثلاثة على وصول ثواب القراءة للميت
“dan sungguh al-Hafidz As-Suyuthi telah menaqal bahwa Jumhur Salafush Shaleh dan Aimmatuts Tsalatsah (Imam
Tiga : Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal) menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit”.
yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan
umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka
juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama
muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti
umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap
mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah
yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل
“Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya
tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan
pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”. 21
Dihalaman lainnya beliau juga menyebutkan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب
جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى
باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح
واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا
المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا، وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل
صلاة مد من طعام طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع
“Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak
sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan
pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan
sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang
demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki
tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang
ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas
ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin
Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk
mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari
kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar
ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari
anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ; tidak jauh (tidaklah melenceng) agar
memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya
sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu
sampai berdasarkan ijma’.” 22
Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :
واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من
العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه
“’Ulama’ berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka
yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak
sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat sy-
Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya
Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.23
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :
21 Lihat : Syarah Shahih Muslim [7/90].
22 Lihat : Syarah Shahih Muslim [1/90].
23 Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 165.
تنبيه: كلام المصنف قد يفهم أنه لا ينفعه ثواب غير ذلك كالصلاة عنه قضاء أو غيرها، وقراءة القرآن، وها هو المشهور عندنا، ونقله
المصنف في شرح مسلم والفتاوى عن الشافعي - رضي الله عنه - والأكثرين، واستثنى صاحب التلخيص من الصلاة ركعتي الطواف
“Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala
selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan
al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah), mushannif
telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam asy-Syafi’i –radliyallahu
‘anh- dan kebanyak ulama, pengecualian shahiu Talkhis seperti shalat ketika thawaf ”.24
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 juga
menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛
“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian
hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai
menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”. 25
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat
yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i,
sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai
pendapat masyhur (qaul masyhur).
Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i
(sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya)
sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan
lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah
tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya.
Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan
dibacakan do’a untuk mayyit” 26
Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya
dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمه اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَ أَ عِ ندَه شيء مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْده كانَ حَسن اً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an
disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu
bagus” 27
Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya
al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
24 Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110).
25 Lihat : Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431].
26 Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.
27 Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu 'Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh
Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب
جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على
ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا
قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni
masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada
mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok
‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat,
puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul
masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak
meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan
Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits
berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan
bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di
tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. 28
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
وكلام الشافعي - رضي الله عنه - هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه
“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan)
memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur
diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan
do’a”. 29
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع
له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan
dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk
mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.30
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan
pula sebagai berikut :
والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه
“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi
salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau
apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau
mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.31
فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في
ذلك .... (قوله: أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة عند قبره والدعاء له عقبها ونيته
حصول الثواب له
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa
sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau
menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang
28 Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23].
29 Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].
30 Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].
31 Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].
kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-),
Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada
salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi
pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”32
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:
فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم
“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah
sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.33
والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز
بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن
الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها
“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah
menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena
sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang
bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama, dan
makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja,
bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa
itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan
wasiat atau tanpa wasiat”. 34
Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :
قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب
قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب
“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila
pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala
bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an
disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari
(pembaca) juga mendapatkan pahala”. 35
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :
وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة
ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير
يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء
“Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan
(juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana
bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak
memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakhkhirin
menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a :
“ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal
semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal
kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya
untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit
pahalanya tidak dikurangi”. .36
32 Lihat : Ibid [4/67] ;
33 Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [293]
34 Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522].
35 Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]
36 Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul
masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk
membaca disamping qubur, 37 juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni
pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang
telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati.
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN
Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan ilmu dan
kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa didalam tahlilan sudah tidak ada lagi
37 Banyak komentar dan anjuran ulama Syafi’iyyah tentang membaca al-Qur’an di quburan untuk mayyit, sebagaimana yang
sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafi’i sendiri. Adapun berikut diantara komentar lainnya, yang juga
berasal dari ulama Syafi’iyyah diantara lain : al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249] :
والسنة ان يقول الزائر سلام عليكم دار قوم مؤمنين وانا ان شاء لله عن قريب بكم لاحقون اللھم لا تحرمنا أجرھم ولا تفتنا بعدھم
وينبغي أن يدنو الزائر من القبر المزور بقدر ما يدنو من صاحبه لو كان حيا وزاره وسئل القاضى أبو الطيب عن ختم القرآن في
المقابر فقال الثواب للقارئ ويكون الميت كالحاضرين يرجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لھذا المعني وأيضا
فالدعاء عقيب القراءة أقرب الي الاجابة والدعاء ينفع الميت
“dan sunnah agar peziarah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa InsyaAllahu ‘an
qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”, dan sepatutnya zair
(peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika masih hidup ketika
mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Qur’an dipekuburan maka beliau
menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan
mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Qur’an di pequburan berdasarkan
pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan al-Qur’an) dan juga berdo’a
mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya lebih dekat untuk diterima sebab do’a bermanfaat bagi mayyit”.
Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :
ويقرأ ويدعو) عقب قراءته، والدعاء ينفع الميت وھو عقب القراءة أقرب للإجابة
“dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Qur’an dan berdo’a mengiri pembacaan al-Qur’an, sedangkan do’a
bermanfaat bagi mayyit, dan do’a mengiringi bacaan al-Qur’an lebih dekat di ijabah”
Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in [hal. 229] :
ويسن كما نص عليه أن يقرأ من القرآن ما تيسر على القبر فيدعو له مستقبلا للقبلة
“disunnahkan –sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang dirasa mudah
dari al-Qur’an diatas qubur, kemudian berdo’a untuk mayyit menghadap ke qiblat”
Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah pada pembahasan terkait ziarah qubur :
قوله: (ويقرأ) أي شيئا من القرآن ويھدي ثوابه للميت وحده أو مع أھل الجبانة، ومما ورد عن السلف أنه من قرأ سورة الإخلاص
إحدى عشرة مرة، وأھدى ثوابھا إلى الجبانة غفر له ذنوب بعدد الموتى فيھا
“frasa (dan –disunnahkan- membaca al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah dari al-Qur’an, kemudian menghadiahkan
pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah warid dari salafush shalih
adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur
maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati dipekuburan itu”.
Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullah [juz I, hal. 184] :
من آداب زيارة القبور: إذا دخل الزائر المقبرة، ندب له أن يسلم على الموتى قائلا : " السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء
لله بكم لاحقون. وليقرأ عندھم ما تيسر من القرآن، فإن الرحمة تنزل حيث يُقرأ القرآن،ثم ليدع لھم عقب القراءة، وليھدِ مثل ثواب
تلاوته لأرواحھم، فإن الدعاء مرجو الإِجابة، وإذا استجيب الدعاء استفاد الميت من ثواب القراءة. ولله اعلم.
“Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan
salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu ‘alaykum dara qaumin mukminiin wa innaa InsyaAllahu
bikum laa hiquun”, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari al-Qur’an disisi qubur mereka,
sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Qur’an, kemudian disunnahkan supaya
mendo’akan mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala tilawahnya untuk arwah mereka,
sebab sesungguhnya do’a diharapkan di ijabah, apabila do’a dikabulkan maka pahala bacaan al-Qur’an akan
memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu ‘alam.”
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :
ولا بأس بقراءة القرآن على القبور
“tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur”
perselisihan mengenai membaca al-Qur’an untuk orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca,
shalawat hingga pembacaan al-Qur’an dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang
yang meninggal dunia yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan adalah
ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya
serta do’a agar pahala bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan do’a sendiri memberikan
bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan) lagi. Sungguh sangat
bijaksana.
Lebih jauh lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Qur’an kepada orang mati telah menjadi
Ijma’ sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam al-Hafidz
Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh Ash-Shuduur : 38
إختلف في وصول ثواب القراءة للميت فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا بقوله
تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وأجاب الأولون عن الآية بأوجه. أحدها أنها منسوخة بقوله تعالى {والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم}
الآية أدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء. الثاني أنها خاصة بقوم إبراهيم وقوم موسى عليه السلام فأما هذه الأمة فلها ما سعت وما سعي
لها قال عكرمة . الثالث أن المراد بالإنسان هنا الكافر فأما المؤمن فله ما سعى وما سعي له قاله الربيع بن أنس الرابع ليس للإنسان إلا ما
سعى من طريق العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله تعالى ما شاء قاله الحسين بن الفضل. الخامس أن اللام في {للإنسان}
بمعنى على أي ليس على الإنسان إلا ما سعى. واستدلوا على الوصول بالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق
فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة وبالأحاديث الآتي ذكرها وهي وإن كانت ضعيفة
فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا
ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. قال القرطبي وقد كان الشيخ عز الدين
بن عبد السلام يفتي بأنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ له فلما توفي رآه بعض أصحابه فقال له إنك كنت تقول إنه لا يصل إلى الميت
ثواب ما يقرأ ويهدى إليه فكيف الأمر قال له كنت أقول ذلك في دار الدنيا والآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله في ذلك وأنه
يصل إليه ثواب ذلك وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة
عند القبر فقال لا بأس به وقال النو وي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو لهم عقبها
نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا القرآن على القبر كان أفضل وكان الإمام أحمد بن حنبل ينكر
ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع حين بلغه ومن الوارد في ذلك ما تقدم في باب ما يقال عند الدفن من حديث إبن العلاء بن
اللجلاج مرفوعا كلاهما
“Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat
jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai,
sedangkan Imam kami yakni Imam Syafi’i menyelisihi yang demikian, beliau beristidlal
dengan firman Allah Ta’alaa :
وَأَن لَيْسَ للْإنْسَان إِلَّا مَا سعى
“dan tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakan” (QS. an-Najm : 39)
Aku mengawali jawaban tentang ayat ini dengan berbagai sudut pandangan jawaban :
Pertama, ayat tersebut manshukh (hukumnya dihapus) dengan firman Allah Ta’alaa :
وَالَّذين آمنُوا وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ
“dan orang-orang yang beriman, kami hubungkan mereka dengan keturunanketurunan
mereka”
Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak masuk surga karena keshalihan (kebajikan) ayahayahnya.
38 Lihat : Syarhush Shuduur bi-Ahwaalil Mawtaa wal Qubuur [1/302-303], karya al-Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi
rahimahullah.
Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musaa
‘alayhis salaam, adapun umat ini maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang
diusahakan (orang lain) untuknya. ‘Ikrimah telah menuturkan hal ini.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan manusia (al-Insaan) pada ayat tersebut dalah orang
kafir, (maksudnya adalah “tiada bagi orang kafir, kecuali apa yag diusahakan”, ket),
sedangkan orang-orang beriman, maka baginya apa yang diusahakannya dan apa yang
diusahakan orang lain untuknya. Ini qaul Ar-Rabi’ bin Anas.
Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan seperti dari segi keadilan, adapun
terkait keutamaan (fadlilah) maka jaiz bagi Allah Ta’alaa menambahkan apa yang
dikehendaki. Ini qaul al-Husain bin al-Fadll.
Kelima, huruf Lam ( ل) pada ladzhaf {lil-Insaan} bermakna ‘alaa ( على ) maksudnya tiada atas
manusia kecuali apa yang diusahakan.
Dan para ulama beristidllal atas sampainya (bacaan al-Qur’an) dengan Qiyas terhadap
perkara sebelumnya seperti do’a, shadaqah, puasa, haji dan membebaskan budak, maka
tidak ada perbedaan terkait perpindahan pahala antara haji, shadaqah, waqaf, do’a dan
membaca al-Qur’an, dan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang telah disebutkan,
dimana jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun pengumpulannya (banyak
dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang demikian merupakan pokok (al-
Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut disepanjang
masa , mereka berkumpul, mereka membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara
mereka tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah itu sebagai Ijma’, semua itu telah
dituturkan oleh al-Hafidz Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian
dari beberapa masalah.”
Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam berfatwa bahwa bacaan al-
Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada mayyit, maka tatkala beliau wafat, sebagian
shahabat-shahabatnya (bermimpi) melihatnya, kemudian berkata : “sesungguhnya engkau
pernah mengatakan bahwa pahala apa yang dibaca (bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada
mayyit walaupun menghadiahkannya, bagaimanakah masalah tersebut ?” kemudian ia
menjawab : aku memang mengatakan demikian ketika di dunia, dan sekarang sungguh aku
telah ruju’ darinya tatkala aku melihat karamah Allah tentang hal tersebut, dan sesungguhnya
yang demikian itu sampai kepada mayyit.
Adapun membaca al-Qur’an di atas qubur. Ashhabunaa (ulama-ulama syafi’iyah kami) serta
yang lainnya telah menetapkan disyariatkannya hal tersebut.
Imam Az-Za’farani berkata : aku pernah bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah
tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, lalu beliau menjawab : “tidak apa-apa dengan
yang demikian”.
al-Imam an-Nawawi rahimahullah didalam Syarhul Muhadzdzab berkata : disunnahkan bagi
peziarah qubur agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an dan berdo’a untuk
mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, nas atasnya oleh asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i telah
menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika mereka mengkhatamkan al-
Qur’an diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).
al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengingkari yang demikian (membaca al-Qur’an diatas
qubur) ketika belum sampai atsar terkait hal itu kepada beliau, namun kemudian beliau ruju’
ketika atsar terkait hal tersebut sampai kepadanya,39 dan diantara yang warid tentang yang
39 Kronologis tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya mengingkari kemudian meruju’ setelah sampai kepadanya sebuah
atsar tentang yang demikian, ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab Madzhab Hanbali seperti oleh pembesar Hanabilah al-
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisini didalam al-Mughni [2/422].
demikian yakni apa yang telah berlalu pada sebuah Bab Maa Yuqaal ‘Inda ad-Dafni dari
hadits Ibnu al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj secara marfu’ pada kalam keduanya.”

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini