Imam Bukhari juga bermadzhab

Sabtu, 18 Juni 2011


Jangan dikira bahwa madzhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermadzhab. Di dalam kitab “Al-Imam Asy-Syafi”i, Bainal Madzhabihil Qadim wal Jadid”, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi’i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistinbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid muthlaq. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam madzhab Syafi’i. Dengan demikian, beliau adalah salah satu ulama besar yang bermadzhab, yaitu madzhab Syafi’i.

Ada juga di antara murid madzhab As-Syafi’i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istinbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri madzhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi’i mengetahui muridnya mendirikan madzhab sendiri? Beliau berkomentar, “Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal.” Bahkan Imam Syafi’i juga pernah menimba ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Guru jadi murid, murid jadi guru. Begitulah para ulama, mereka tidak malu menimba ilmu bahkan kepada muridnya sendiri.
Mengapa Bermadzhab?
Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 7.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali bagi setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah, bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab Imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.
Imam Bukhari itu menghafal lebih dari 600 ribu hadits. Hadits shahih yang beliau hafal belum semuanya dituliskan. Masih banyak hadits shahih yang belum beliau tuliskan, atau sudah beliau tulis, namun dalam kitab lain. Imam Ahmad, beliau menghafal 1 juta hadits. Belum lagi muhadditsin lainnya.
Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya. Mengapa harus demikian? Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?
Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?
Jawabnya, para ulama madzhab-madzhab itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan ”mega proyek” itu. Dan mereka -Alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlash, mereka tidak pernah minta bayaran.
Masa perkembangan madzhab-madzhab besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Madzhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari ummat Islam, karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitnbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah, sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istinbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istinbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis. Karena itulah keempat madzhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.
Kita sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam asy-Syafi’i, kok tidak mengikuti Rasulullah saw saja?”, atau “siapa yang lebih alim, Rasulullah saw atau Imam asy-Syafi’i?” Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih.
Ketika seseorang itu mengikuti Imam asy-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah saw. Karena bagaimanapun Imam asy-Syafi’i itu bukan saingan Rasulullah saw atau menggantikan posisi beliau sebagai Nabi. Para ulama yang mengikuti madzhab asy-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, Daraquthni, al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam asy-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw secara menyeluruh. Ketika mereka mengikuti asy-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih paham dari mereka, yaitu Imam asy-Syafi’i.
Hal tersebut dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah saw menjelaskan sampai pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah saw dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama seperti dalam ayat “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Dalam ayat itu, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh para anti madzhab.
Lalu bagaimana dengan kita yang tidak bertemu dengan para imam itu? Para imam itu mempunyai murid, muridnya mempunyai murid, terus begitu. Nah, pelajarilah ilmu mereka melalui ulama yang sanad ilmunya bersambung kepada para Imam itu. Ada pun para Imam, tentunya sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul SAW.
Alhamdulillah, di Indonesia ini banyak ulama-ulama bermadzhab Syafi’i yang sanad ilmu mereka bersambung hingga ke Rasul. Walau pun sanad ilmu mereka tidak mereka sebutkan, kita tahu bahwa mereka telah berguru kepada ulama-ulama Syafi’iyah yang telah berguru kepada ulama-ulama Syafi’iyah juga dan bersambung hingga ke Imam Syafi’i. Jika masih ragu, kita dapat mencocokkan ilmu mereka dengan ilmu dari ulama-ulama yang menjelaskan sanad mereka.
Seperti halnya ustadz di tempat saya, beliau telah banyak mengambil ijazah dari Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Sehingga kitab-kitab yang beliau ajarkan itu memang benar berisi ilmu dari madzhab Syafi’iyyah. Sehingga makin jelaslah bahwa ilmu yang beliau ajarkan itu bersambung sanadnya kepada Imam Syafi’i. Padahal dulunya beliau juga pernah belajar dan mengamalkan ajaran Salafy Wahhabi. Beliau bahkan pernah membubarkan suatu acara tahlilan yang sedang dilakukan di salah satu rumah warga. Tetapi Alhamdulillah, beliau bertaubat dan meninggalkan ajaran-ajaran Salafy Wahhabi itu dan kemudian mempelajari ilmu-ilmu ASWAJA yang benar dan bermadzhab Syafi’i. Beliau belajar kepada KH. Abdullah Syafi’i, KH. Syafi’i Hadzami, Guru Mughni, dll. Dan hingga kini, beliau menjadi ustadz Sunni-Syafi’i yang diakui keilmuannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini