Tentang Istawa

Jumat, 17 Juni 2011

Al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.
Wa ash-Shalât Wa As-Salâm ’Alâ Rasûlulillâh.

Ada beberapa poin ringkas yang hendak penulis ungkapkan dalam mukadimah ini, sebagai berikut:

• Bahwa kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah. Bencananya sangat besar, dan yang paling parah adalah adanya sebagian orang-orang Islam, baik yang dengan sadar atau tanpa sadar telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut.

Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan aqidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî , meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. 

• Ada seorang mahasiswa bercerita kepada penulis bahwa suatu ketika salah seorang dosen Ilmu Kalam mengajukan “pertanyaan” di hadapan para mahasiswanya, ia berkata: “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, kuasakah Allah untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah sendiri?”, atau “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya?”, atau berkata: “Jika benar Allah maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja?”. Ungkapan-ungkapan buruk semacam ini seringkali dilontarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama pada jurusan filsafat. Ironisnya, baik dosen maupun mahasiswanya tidak memiliki jawaban yang benar bagi pertanyaan sesat tersebut. Akhirnya, baik yang bertanya maupun yang ditanya sama-sama “bingung”, dan mereka semua tidak memiliki jalan keluar dari “bingung” tersebut. Hasbunallâh. 

Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah penulis bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi.

Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian; Pertama; Wâjib ‘Aqly; yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya; akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dengan sifat-sifat-Nya. Kedua; Mustahîl ‘Aqly; yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah. Ketiga; Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly; yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah. 

Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan: “Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly. 

• Contoh kasus lainnya yang pernah dialami penulis dan teman-teman, bahwa suatu ketika datang seorang mahasiswa yang mengaku sangat menyukai filasafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi; secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” mahasiswa tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah. “Mahasiswa” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu; Allah, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah; dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’). 

Kita jawab; Baqâ’ Allah disebut dengan Baqâ’ Dzâty; artinya bahwa Allah maha Kekal tanpa ada yang ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka; keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah (Bi Ibqâ-illâh Lahumâ). Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah; memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya. Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan. Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya. 

Dalam pandangan penulis, sebenarnya mahasiswa seperti ini adalah murni sebagai korban distorsi Ilmu Kalam. Kemungkinan besarnya, ketika ia masuk ke Perguruan Tinggi, ia merasa bahwa dirinya telah berada di wilayah “elit” secara ilmiah, ia “demam panggung” dengan iklim wilayah tersebut, merasa dapat berfikir dan berpendapat sebebas mungkin, termasuk kebebasan berkenalan dengan berbagai faham teologis. Padahal ketika awal masuk ke Perguruan Tinggi tersebut ia adalah “botol kosong” yang tidak memiliki pijakan sama sekali.

Akhirnya, karena ia botol kosong maka seluruh faham masuk di dalam otaknya, termasuk berbagai aliran faham teologis, tanpa sedikitpun ia tahu manakah di antara faham-faham tersebut yang seharusnya menjadi pijakan keyakinannya, padahal -dan ini yang sangat mengherankan-, mahasiswa tersebut kuliah di fakultas dan jurusan keagamaan. Tentunya lebih miris lagi, ketika faham-faham teologis yang beragam ini dijamah oleh otak-otak mahasiswa non-keagamaan. Dan yang penulis sebut terakhir ini adalah realitas yang benar-benar telah ada di depan mata kita. Karenanya, seringkali kita melihat mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari jurusan non-keagamaan mengusung faham-faham teologis yang sangat ekstrim, bahkan seringkali mereka mengafirkan kelompok apapun di luar kelompok mereka sendiri, padahal mereka tidak memahami atau bahkan tidak tahu sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan.

• Penulis termasuk cukup aktif “berselancar” di dunia maya, dalam banyak blog, web, facebook, twitter, dan lainnya sering menuangkan materi-materi tauhid di atas dasar aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; termasuk melakukan dialog dengan beberapa orang yang memiliki faham di luar keyakinan penulis. Teks-teks mutasyâbihât, baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi, yang seharusnya dapat dipahami dengan logika yang sederhana menjadi bahan yang sangat “hangat”, bahkan cenderung “panas”; yang dengan sebabnya seringkali terjadi tuduhan “kafir”, “sesat”, “zindik”, “ilhâd”, dan semacamnya terhadap mereka yang tidak sepaham. Akibatnya, nama “Ahlussunnah Wal Jama’ah” menjadi “kabur”; khususnya bagi orang-orang awam yang bukan Ahl at-Tamyîz, hingga mereka tidak dapat membedakan antara keyakinan tauhid yang suci dengan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) yang jelas menyesatkan.

Seringkali ketika “berselancar” di internet, penulis berdialog dengan beberapa orang yang “sangat ngotot” berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, lalu --dan ini yang sangat mengherankan-- pada saat yang sama mereka juga ngotot mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Untuk ini kemudian mereka mengutip beberapa ayat dan hadits yang menurut mereka sebagai bukti kebenaran aqidah tersebut. Penulis mencoba menyederhanakan “problem mereka” dengan logika sederhana; “Bukankah arsy dan langit itu ciptaan Allah? Bila anda berkeyakinan arsy dan langit itu ciptaan Allah maka berarati menurut anda Allah berubah dari semula yang ada tanpa langit dan tanpa arsy menjadi bertempat pada kedua makhluk-Nya tersebut; lalu bukankah perubahan itu menunjukan kebaharuan?

Bukankah pula arsy dan langit itu memiliki bentuk dan ukuran? Lalu anda sendiri mengatakan bahwa Allah berada di dua tempat; arsy dan langit?”. Logika-logika sederhana semacam inilah yang sengaja bahkan seringkali penulis ungkapkan untuk “menyehatkan” akal dan pikiran orang-orang yang memiliki problem di atas. Tapi alih-alih mereka mau berfikir, namun ternyata tuduhan “kafir”, “mu’ath-thil” (pengingkar sifat Allah) dan berbagai tuduhan lainnya yang diterima oleh penulis dari mereka, yang penulis sendiri tidak tahu persis apakah ungkapan-ungkapan semacam itu “senjata pamungkas” mereka? Nyatanya memang mereka mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi untuk dijadikan dasar bagi keyakinan mereka, masalahnya ialah bahwa ayat-ayat tersebut tidak dipahami secara komprehensif, tidak dipahami secara kontekstual, dan bahkan pemahaman mereka jauh berseberangan dengan pemahaman para ulama terdahulu yang benar-benar kompeten dalam masalah tersebut. Inilah di antara yang mendorong penulis untuk membukukan buku ini. 

• Benar, tulisan ini hanya menyentuh “setitik” persoalan saja dari lautan Ilmu Kalam, tetapi mudah-mudahan semua yang tertuang di dalamnya memiliki orientasi dan memberikan pencerahan, paling tidak dalam beberapa persoalan teologis. Hanya saja titik konsentrasi yang hendak penulis sampaikan kepada pembaca dari buku ini adalah esensi tauhid dengan aqidah tanzîh di dalamnya yang diintisarikan dari firman Allah dalam QS. Asy-Syura: 11; bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Benar, Ilmu Kalam ini sangat luas, namun bukan untuk mengabaikan bahasan-bahasan pokok lainnya, penulis memandang bahwa pembahasan “Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah” untuk saat ini sangat urgen, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apa yang penulis ungkapkan pada poin nomor satu di atas tentang menyebarnya aqidah tasybîh benar-benar sudah sampai kepada batas yang sangat merisihkan dan mengkhawatirkan, bahkan --meminjam istilah guru-guru penulis-- sebuah kondisi “yang tidak bisa membuat mata tertidur pulas”. Mudah-mudahan materi-materi lainnya menyangkut berbagai aspek Ilmu Kalam secara formulatif dapat segera dibukukan dalam bentuk bahasa Indonesia. 

Pada dasarnya seluruh apa yang tertuang dalam buku ini bukan barang baru, dan setiap ungkapan yang tertuang di dalamnya secara orisinil penulis kutip dari tulisan para ulama dan referensi-referensi yang kompeten dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, setiap “klaim”, “kesimpulan”, maupun “serangan” terhadap faham-faham tertentu di dalam buku ini, semua itu bukan untuk tujuan apapun, kecuali untuk mendudukan segala persoalan secara proporsional sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama saleh terdahulu. 

• Imam al-Hâfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan Imam al-Hâfizh ad-Daraquthni (w 385 H), berkata: “Ada dua orang saleh yang diberi cobaan berat dengan orang-orang yang sangat buruk dalam aqidahnya. Mereka menyandarkan aqidah buruk itu kepada keduanya, padahal keduanya terbebas dari aqidah buruk tersebut. Kedua orang itu adalah Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal” . 

Orang pertama, yaitu Imam Ja’far ash-Shadiq ibn Imam Muhammad al-Baqir ibn Imam Ali Zainal Abidin ibn Imam asy-Syahid al-Husain ibn Imam Ali ibn Abi Thalib, beliau adalah orang saleh yang dianggap oleh kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka. Seluruh keyakinan buruk yang ada di dalam ajaran Syi’ah Rafidlah ini mereka sandarkan kepadanya, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang mereka yakini. 

Orang ke dua adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, salah seorang Imam madzhab yang empat, perintis madzhab Hanbali. Kesucian ajaran dan madzhab yang beliau rintis telah dikotori oleh orang-orang Musyabbihah yang mengaku sebagai pengikut madzhabnya. Mereka banyak melakukan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan atas nama Ahmad ibn Hanbal, seperti aqidah tajsîm, tasybîh, anti takwil, anti tawassul, anti tabarruk, dan lainnya, yang sama sekali itu semua tidak pernah diyakini oleh Imam Ahmad sendiri. Terlebih di zaman sekarang ini, madzhab Hanbali dapat dikatakan telah “hancur” karena dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini, penulis serahkan sepenuhnya kepada Allah. Segala kekurangan dan aib semoga Allah memperbaikinya, dan seluruh nilai-nilai yang baik dari buku ini semoga menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi seluruh orang Islam. Amin.

Wa Shallallâh Wa Sallam ‘Alâ Rasûlillâh. 

Wa al-Hamd Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda di sini